Silfester Terancam Bebas Usai Divonis Pencemaran Nama Baik JK, Akademisi dan Loyalis Memanas
Silfester tak kunjung dieksekusi mendapat pembelaan dari kuasa hukumnya, Lechumanan.
TRIBUN-TIMUR.COM - Koordinator Tim Advokasi Antikriminalisasi Akademisi, Ahmad Kozinuddin kritik keras proses eksekusi Silfester Matutina tak kunjung dilaksanakan.
Silfester Matutina adalah relawan pendukung Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
Ketua Umum Relawan Solidaritas Merah Putih (Solmet) Silfester terjerat kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla.
Meski putusan pidana 1,5 tahun penjara sudah dijatuhkan sejak enam tahun lalu, Silfester masih belum juga dieksekusi hingga saat ini.
Silfester tak kunjung dieksekusi mendapat pembelaan dari kuasa hukumnya, Lechumanan.
Ia juga didukung sesama koloni relawan Jokowi, yakni Wakil Ketua Umum Bara JP, David Pajung.
Pertama, Lechumanan menyebut, eksekusi terhadap kliennya tidak perlu dilaksanakan lagi lantaran sudah kedaluwarsa.
Dia mengeklaim, eksekusi tersebut sejatinya sudah tak bisa dilakukan seusai gugatan yang dilayangkan oleh Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (ARUKI) ditolak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
"Jelas gugatannya ditolak. Artinya apa? Eksekusi tidak perlu dilaksanakan lagi. Bahwa peristiwa tersebut telah kadaluarsa dan tidak patut untuk dieksekusi lagi," papar Lechumanan kepada wartawan di Gedung Bareskrim Polri, Kamis (9/10/2025).
Terbaru, David Pajung mengeklaim, Silfester tidak perlu dieksekusi lantaran sudah ada Restorative Justice (RJ), sebuah alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana, berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait.
Menurut David, pengakuan Silfester yang sudah meminta maaf kepada Jusuf Kalla sudah termasuk RJ yang bisa menjadi pertimbangan hukum oleh pihak kejaksaan untuk tidak melakukan eksekusi.
Hal tersebut berdasarkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
"Mungkin, yang menjadi pertimbangan hukum pihak kejaksaan, ada PERJA atau Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020, terkait Restorative Justice (RJ)," kata David saat menjadi narasumber dalam program Kompas Petang yang tayang di kanal YouTube KompasTV, Senin (27/10/2025).
"Bisa jadi karena sudah ada pertemuan dengan Pak JK di kantor Pak JK, seperti yang sudah disampaikan baik oleh Silfester maupun penasehat hukumnya," kata dia.
"Ada pertemuan dan permohonan maaf. Ada saksi-saksinya juga," sambungnya.
"Nah, menurut Silfester, 'kami sudah bertemu dan bermaaf-maafan,'" tambahnya.
"Nah, RJ ini adalah sebuah proses untuk menghilangkan proses hukum setelah ada permohonan dan penerimaan maaf dan itu bagian dari rekonsiliasi antara korban maupun dengan yang ditersangkakan, dan menurut penasihat hukum, hal itu sudah terjadi," tegas David.
David menyebut sudah ada kasus-kasus sebelumnya yang bisa menjadi yurisprudensi atas RJ ini, seperti kasus di Boyolali dan Banyumas.
Sebagai informasi, yurisprudensi adalah kumpulan putusan hakim terdahulu yang menjadi pedoman bagi hakim lain dalam memutuskan perkara yang serupa, terutama ketika ada kekosongan atau ketidakjelasan hukum dalam undang-undang.
Yurisprudensi berfungsi menciptakan kepastian hukum dan melengkapi undang-undang, serta merupakan sumber hukum formal di Indonesia
"Restorative justice ini sudah ada yurisprudensi. Ada beberapa case, ada di Boyolali, di Banyumas," ujar David.
"Beberapa orang yang kedapatan mencuri lalu sudah proses sidang, sudah terdakwa, tetapi dipertemukan, difasilitasi dan ada permohonan maaf korban menerima selesai," tambahnya.
Ahmad Khozinudin: Anggapan Eksekusi Silfester Sudah Daluarsa dan Adanya Restorative Justice Membodohi Masyarakat
Ahmad Khozinudin yang juga pengacara pakar telematika Roy Suryo itu menilai, alasan daluarsa dan RJ tidak bisa diterapkan dalam proses eksekusi terhadap Silfester Matutina.
Ia pun mengingatkan, ada perbedaan antara yurisprudensi dan preseden.
Menurutnya, suatu proses hukum bisa disebut yurisprudensi jika sudah ada putusan, kalau belum ada putusan, itu baru preseden saja.
Ahmad menilai, dalih daluarsa dan restorative justice dalam perkara Silfester Matutina ini justru membodohi masyarakat.
"Jadi saya ingin luruskan ya. Janganlah masyarakat dibikin bodoh dengan statement yang menambah bencana dua kali," kata Ahmad, dalam program Kompas Petang, Senin.
"Bencana pertama, kita lihat negara kita tuh kalah dengan seorang terpidana. Bencana yang kedua, masyarakat menjadi bodoh karena seolah-olah tindakan jaksa mengeksekusi itu keliru karena dianggap sudah daluarsa lah, ada restorative justice lah, dan seterusnya," tegasnya.
"Dan harus dibedakan namanya yurisprudensi dengan preseden. Kalau presedennya ada, iya tapi belum sampai putusan, belum menjadi yurisprudensi," paparnya.
"Jadi, ada perbedaan nomenklatur antara preseden dan itu juga perlu dipertanyakan presedennya seperti apa, kasusnya seperti apa," katanya.
Menurut Ahmad, Jaksa sudah lalai karena tidak kunjung melakukan eksekusi terhadap Silfester Matutina padahal putusan sudah inkrah, dan restorative justice hanya berlaku saat sebelum penuntutan di level kejaksaan.
Ia pun merasa iba terhadap negara Indonesia yang terkesan lemah terkait proses hukum terhadap Silfester.
"Dan yang jelas, kalau bicara tentang restorative justice, itu pra-penuntutan kalau di jaksa, kalau di polisi pra-penyidikan. Jadi, tidak bisa itu, ini sudah vonis, sudah inkrah. Jaksa lalai," papar Ahmad.
Duduk Perkara Kasus Silfester Matutina vs Jusuf Kalla: Putusan Sudah Inkrah, tetapi Belum Juga Dieksekusi
Silfester Matutina dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh tim kuasa hukum Jusuf Kalla pada 29 Mei 2017 lalu, terkait kasus dugaan pencemaran nama baik/fitnah.
Laporan ini dipicu oleh orasi Silfester pada 15 Mei 2017 di depan Gedung Mabes Polri.
Saat itu, ia menuding Jusuf Kalla menggunakan isu SARA untuk memenangkan pasangan Anies Baswedan–Sandiaga Uno pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Selain itu, Silfester disinyalir telah menyebut keluarga Kalla sebagai penyebab kemiskinan akibat dugaan korupsi dan nepotisme.
Tak lama setelah orasi ini, Silfester bersikukuh tidak bermaksud untuk memfitnah Jusuf Kalla.
"Saya merasa tidak memfitnah JK, tapi adalah bentuk anak bangsa menyikapi masalah bangsa kita," ujar Silfester, dikutip dari Kompas.com, Senin (29/5/2017).
Pada 2019, kasus pun bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dan ia dijatuhi vonis 1 tahun penjara oleh majelis hakim.
Lalu, Silfester mengajukan banding.
Namun, hasil putusan banding hingga kasasi menyatakan Silfester bersalah, sehingga, masih pada 2019, masa hukumannya ditambah menjadi 1,5 tahun.
Vonis dijatuhkan Mahkamah Agung pada Mei 2019 melalui putusan kasasi nomor 287 K/Pid/2019, dan menyatakan Silfester bersalah melanggar Pasal 310 dan 311 KUHP.
Akan tetapi, meski vonis tersebut sudah inkrah, hingga Oktober 2025 ini atau lebih dari enam tahun berselang, Silfester belum pernah ditahan.
Ia pun terancam dipidana setelah Kapuspenkum Kejagung RI Anang Supriatna menyebut, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan telah mengundang Silfester untuk dilakukan eksekusi.
"Informasi dari pihak Kejari Jakarta Selatan, hari ini diundang yang bersangkutan. Kalau dia enggak datang ya silahkan aja," kata Anang saat ditemui di Gedung Puspenkum Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (4/8/2025).
"Kita harus eksekusi," sambungnya.
(Tribunnews.com/Rizki A./Abdi Ryanda)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com
| Jusuf Kalla Akan Bicara soal Masjid dan Perdamaian di Hadapan Tokoh Lintas Agama di Roma |
|
|---|
| Akhir Dualisme PPP Sepekan, Sosok Menteri Hukum Supratman Andi Atgas Jadi Juru Damai Ikuti Jejak JK |
|
|---|
| Deretan Putra Sulsel Jadi Pengendali Partai Level Nasional, Fauzan Ikuti Jejak Idrus |
|
|---|
| Jusuf Kalla Resmikan Peletakan Batu Pertama RS Faisal Dengan Kapasitas 350 Bed |
|
|---|
| RS Faisal Tambah 350 Bed, Diskon 90 Persen untuk Ulama |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.