Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Presiden The Macz Man: PSM Itu Seperti Lagu India, Kadang Menari, Kadang Menangis

Hadir sebagai narasumber lainnya, mantan Asisten Manajer Bidang Humas PSM Makassar Nurman Idrus dan mantan Asisten Manajer PSM, Amir Pallawa Rukka.

Rachmat Ariadi/Tribun Timur
HUT PSM – Suasana perayaan HUT ke-110 PSM Makassar di Stadion BJ Habibie Parepare, Minggu (2/11/2025). Ratusan suporter PSM Makassar berpesta bersama pemain usai laga ulang tahun ke-110 di Stadion BJ Habibie. Flare, tumpeng, dan semangat Siri' na pacce warnai perayaan 

TRIBUN-TIMUR.COM -  “PSM itu seperti lagu India, kadang menari, kadang menangis, kadang terpuruk, kadang berjaya,” ujar Presiden The Macz Man, Ocha Alim Bahri.

Perumpamaan itu menggambarkan dinamika perjalanan klub tertua di Indonesia ini: penuh drama, emosi, dan semangat juang yang tak pernah padam.

“Tapi semangat para pemainnya selalu hidup. Dan itulah membuat PSM Makassar tetap istimewa,” kata Ocha dalam podcast Saksi Kata: Hadir Dalam Tawa & Tangis PSM, dipandu reporter Tribun Timur Makassar, Kaswadi Anwar.

Hadir juga sebagai narasumber lainnya, mantan Asisten Manajer Bidang Humas PSM Makassar Nurman Idrus dan mantan Asisten Manajer PSM, Amir Pallawa Rukka.

Ocha menyoroti fenomena demo suporter seperti seruan “Out Sadikin” atau “Ganti manajemen.”

Menurutnya, aksi-aksi semacam itu sebaiknya dipikirkan matang.

“Kita harus bertanya: siapa yang akan menggantikan mereka? Siapa yang mau menjaga PSM dan siri’ na pacce kita ini?” katanya.

Ia menyinggung tantangan finansial akibat pembatasan jumlah penonton oleh PSSI, yang membuat pemasukan klub kian terbatas.

Padahal, menurutnya, PSM bukan klub bermasalah.

“Tidak ada konflik besar antar suporter seperti di Jawa. Dulu memang sempat panas dengan Bonek, tapi sekarang justru bersahabat. Terakhir, 300 Bonek datang ke Makassar dan disambut baik,” jelasnya.

Sebagai solusi, Ocha menyarankan agar manajemen menurunkan harga tiket sementara waktu dan melakukan evaluasi dalam dua atau tiga pertandingan.

“Kalau jumlah penonton naik, berarti strategi itu berhasil,” ujarnya optimistis.

Ia percaya, meski kini PSM masih berada di papan bawah klasemen, semangat tim akan kembali menyala.

“Saya yakin, dua atau tiga pertandingan ke depan, posisi PSM bisa naik ke papan tengah,” tutupnya penuh keyakinan.

Berikut petikan wawancara khususnya.

Berdasarkan data, jumlah penonton PSM di Stadion Gelora BJ Habibie (Parepare) terus menurun. 

Musim ini jumlah tertinggi hanya sekitar 6 ribu penonton saat melawan Persija Jakarta, jauh turun dari musim 2022 saat stadion selalu penuh hingga 13 ribu penonton.

Bahkan terakhir, lawan Rans hanya sekitar 1.900 orang.

Apa yang menyebabkan turunnya antusiasme suporter ini?

Ocha Alim: Kalau melihat kondisi sekarang, memang benar yang dikatakan Pak Amir dan Kak Nurmal tadi.

Sangat sulit bagi PSM mendapatkan sponsor besar seperti klub-klub di Jawa. Di sana banyak perusahaan besar dan pusat pengambil keputusan berada di Jakarta.

Kalau pemerintah daerah, walikota, atau gubernur di Jawa mau turun tangan, sponsor langsung datang.

Tapi disini, jumlah perusahaan besar sangat terbatas. Misalnya PTPN, Semen Tonasa, dan beberapa industri lainnya, kapasitas mereka untuk mensponsori klub juga tidak sebesar perusahaan nasional.

Saya mengikuti perjalanan PSM sejak era manajer Andi Latif, lalu keponakannya, Latif Rola Tulung (ek bupati), kemudian Reza Ali, Nurdin Halid, hingga Erwin Aksa dan yang sekarang memimpin.

Dari delapan manajer ini, semuanya punya satu semangat menjaga siri’ na pacce orang Sulawesi Selatan. Mereka berkorban besar untuk PSM.

Contohnya Reza Ali. Dulu, beliau menjual dua kapal tanker dan bahkan aset hotel Victoria di Jalan Tentara Pelajar Makassar hanya untuk membiayai PSM. Itu luar biasa, tapi kini, pengorbanan seperti itu sudah jarang.

Kita harus akui, kondisi keuangan PSM saat ini masih berat. Meski gaji tidak selalu macet total, tetap ada keterlambatan 3–4 bulan.

Ini karena sepak bola kita belum benar-benar sehat. Sponsor yang ada nilainya tidak besar, dan pemasukan dari penonton juga terbatas.

Menurut saya, salah satu solusi adalah menurunkan harga tiket untuk sementara. Misalnya, tribun terbuka cukup Rp75 ribu, bukan Rp150 ribu.

Kalau harga turun, stadion bisa penuh, dan total pendapatan bisa jadi lebih besar.

Setelah itu, kalau situasi membaik, harga bisa dinaikkan lagi secara bertahap. Saya yakin suporter pasti mau membantu kalau diajak dengan cara yang baik.

Apakah memang belum memungkinkan bagi klub benar-benar mandiri secara finansial?

Amir PR: Kalau saya lihat, memang industri sepak bola kita belum bisa seperti di negara-negara Barat yang benar-benar hidup dan mandiri.

Seperti disebutkan tadi, biaya untuk Elite Pro Academy saja sudah sangat besar, belum termasuk kewajiban memiliki tim sepak bola perempuan.

Itu belum banyak klub bisa memenuhi. Coba sebut satu klub sudah punya tim perempuan, hampir tidak ada. Di internal PSSI sendiri masih banyak hal yang perlu dibenahi.

Kadang, satu kebijakan yang salah bisa mematikan potensi pemasukan klub, misalnya dengan tidak digelarnya kompetisi Piala Indonesia.

Padahal, turnamen seperti itu justru bisa menjadi sumber pendapatan tambahan.

Saya ingat saat Piala Indonesia antara PSM dan Persija, pertandingan itu masuk rekor dunia, termasuk 10 besar penonton terbanyak. Itu menunjukkan potensi luar biasa.

Tapi kalau tidak ada regulasi dan dukungan yang mendukung klub, ya berat.

PSM pun harus realistis. Tidak semua klub punya sponsor besar. Dulu, Persipura masih bisa bertahan karena disokong Freeport, tapi setelah itu dihentikan, mereka kesulitan juga.

Jadi, jangan salah paham, mengelola klub sepak bola bukan pekerjaan yang menguntungkan.

Saya pribadi masih menyimpan bundel kwitansi-kwitansi pengeluaran. Tidak mudah dan sangat mahal.

Untuk satu kali penerbangan saja bisa menghabiskan Rp120 juta, dan itu dilakukan 17 kali dalam semusim.

Bayangkan kalau harus ke Medan atau ke Serui di Papua, harus transit di beberapa kota. Biaya besar sekali.

Karena itu saya sering bilang, orang yang mau mengelola klub sepak bola itu harus setengah gila, karena bukan untuk cari untung, tapi murni karena cinta.

Saya juga tidak setuju kalau pemain asing terlalu banyak. Kontrak mereka mahal: harus disediakan mobil, apartemen, fasilitas khusus.

Pernah waktu masih di Bali, hanya karena masalah kecil, pemain digigit anjing, klub harus keluar Rp18 juta untuk biaya vaksin dan perawatan. Itu baru satu kasus kecil.

Jadi, kalau ada yang bilang mengelola klub sepak bola itu menguntungkan, mereka belum tahu kenyataannya.

Soal sponsor dan merchandise, saya berharap PSSI dan supporter juga ikut membantu. Misalnya, jangan beli jersey palsu.

Mungkin terlihat sepele, tapi uang dari pembelian jersey asli bisa membantu menggaji kitman atau staf klub.

Kita beli jersey palsu sepuluh ribu, padahal kalau beli yang asli, itu bisa menyelamatkan satu orang pekerja klub selama sebulan. Jadi, mari bantu klub dengan cara sederhana itu.

Bisa diceritakan suka duka selama bersama PSM Makassar?

Amir PR: Dukanya banyak, tapi syukurnya juga banyak. Saya bersyukur karena sejak kecil saya memang sudah cinta PSM. Dulu waktu masih SMA, saya pernah digendong ayah saya menonton PSM.

Saya sempat bercita-cita bisa masuk stadion tanpa tiket, dan akhirnya bisa terwujud karena saya terlibat langsung di dalamnya.

Saya juga pernah bercita-cita bisa melihat PSM mengangkat piala, dan itu pun dikabulkan. Tidak banyak orang bisa punya pengalaman seperti itu.

Tentu dukanya juga banyak, termasuk menghadapi masalah gaji pemain menunggak berbulan-bulan, sampai ada pemain yang mogok.

Tapi semua itu terbayar dengan pengalaman dan kebanggaan yang tidak ternilai.

Bertemu supporter di berbagai daerah juga menjadi pengalaman berharga. Mereka selalu membantu, bahkan ketika kami kesulitan logistik.

Di Papua, ada suporter yang membantu mengurus tiket kami. Hal-hal seperti itu membuat saya semakin cinta PSM.

Nurmal Idrus: Saya sepakat manajemen klub memang harus lebih aktif berkomunikasi dengan supporter.

Dulu kami selalu diingatkan oleh manajer untuk terus menjalin komunikasi dengan Kak Ocha dan kelompok-kelompok lain, karena mereka adalah bagian penting dari klub.

Masalah harga tiket, misalnya. Kalau terlalu mahal, stadion jadi sepi. Lebih baik harga murah tapi stadion penuh, karena semangat pemain juga lebih besar saat main di hadapan banyak penonton.

Saya sendiri dulu wartawan sebelum akhirnya ditunjuk jadi juru bicara PSM pada 2008. Banyak suka dukanya.

Kalau PSM menang, banyak yang menyapa dan memberi apresiasi. Tapi kalau kalah, dua hari saya tidak berani keluar rumah karena semua orang marah-marah, termasuk tukang parkir dan orang di warung kopi.

Namun, dari situ saya belajar bahwa loyalitas masyarakat terhadap PSM itu luar biasa.

Bahkan sampai sekarang, PSM bukan hanya klub, tapi sudah menjadi identitas warga Sulawesi Selatan.

Sebagai fotografer dan saksi perjalanan panjang PSM, momen apa paling berkesan?

Ocha Alim: Momen paling berkesan bagi saya adalah ketika bisa hadir di Istana Negara, saat PSM diundang Presiden untuk menerima piala juara.

Tapi selama tiga kali PSM juara, saya tidak pernah menyentuh piala itu, karena saya tahu yang berhak hanya pemain dan pelatih. Saya cukup bangga bisa mengabadikan momen itu lewat kamera.

Foto-foto saya pernah memenangkan penghargaan Nikon Award, termasuk foto terkenal Tendangan Kung Fu Syamsul Chaeruddin.

Sebagai fotografer, saya merasa sepak bola ini bukan hanya olahraga, tapi seni juga. Ia mengasah keseimbangan antara otak kiri dan kanan.

Karena itu saya selalu bilang, kalau mau cari jodoh, carilah fotografer, karena mereka punya keseimbangan antara logika dan rasa.

Saya juga punya banyak kenangan bersama manajemen dan suporter. Kadang kalau tahu kondisi keuangan sedang sulit, saya tidak ambil uang saku saya ketika ikut perjalan dinas.

Saya tahu mereka berjuang keras, jadi saya bantu dengan cara itu. Salah satu momen paling emosional adalah ketika suporter PSM dan Bonek akhirnya berdamai setelah kerusuhan di era Ligina 8.

Dari situ lahir rekonsiliasi besar, bahkan sampai masuk ke catatan ASEAN Football sebagai salah satu suporter terbaik di Asia Tenggara.

Itu kebanggaan yang luar biasa. Karena bukan hanya PSM yang mendapat kehormatan, tapi seluruh masyarakat Sulawesi Selatan.(Renaldi Cahyadi)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved