Anshar Aminullah
(Alumni Magister Sosiologi Unhas)
TRIBUN-TIMUR.COM - Di suatu ketika, tepat di hari Jumat, 12 Rabiul Awwal tahun 1 H atau tepatnya 27 September 622 M, saat dalam perjalanan dari Quba menuju Madinah, Rasulullah singgah di wilayah Bani Salim bin Auf (dekat Quba) dan melaksanakan Shalat Jumat pertama di sebuah lembah yang dikenal sebagai Lembah Ranuna.
Peristiwa Itu bukan hanya sekedar shalat berjamaah, tetapi menjadi momentum untuk mengikat solidaritas umat, menanamkan visi kepada mereka, serta sebagai penanda permulaan kepemimpinan Islam di Madinah.
Sejak saat itu, hari Jumat tidak hanya menjadi ritual wajib sekali dalam seminggu, tetapi juga menjadi simbol kebersamaan dan kesadaran kolektif umat.
Momentum hari jumat tersebut kebetulan saja terlintas di ingatan bacaan sejarah saya, saat sebuah pesan WhatsApp yang telah diteruskan berkali-kali dengan isi kurang lebih "Semoga sehat-sehat jaki semua sekeluarga.
Insya ALLAH Jum'at 22 Agustus 2025 jam 09.00 saya akan memenuhi panggilan Panitia Pemilihan Rektor untuk mendaftarkan diri sebagai salah satu yang memenuhi syarat sebagai Bakal Calon Rektor Unhas 2026-2030".
Sepertinya, pilihan di hari jumat pengirim pesan WhatsApp ini bukan karena pertimbangan sebagai hari baik semata, sebab semua hari dalam seminggu itu sesungguhnya punya kebaikan tersendiri dalam banyak pendekatan.
Pendekatan hari yang kurang baik itu bisa jadi hanya karena faktor bersamaannya saja muncul sebuah kondisi kurang bersahabat, mulai dari token listrik yang sekarat, setelah seharian menjerit alarmnya minta diisi ulang.
Ataukah gas elpiji sudah tak mampu menyalakan api di kompor, beras hanya cukup buat masak sekali, wifi sudah tidak bisa kompromi dan hanya mampu memberikan sinyal kuat namun tidak sudi lagi memberikan sambungan internet karena telat terbayar.
Strikenya lagi, rekening di ATM lebih dulu mengaku bersalah dengan tampilan di layar "Maaf saldo anda tidak cukup".
Justru pemilihan hari jumat untuk berangkat mendaftar dalam pesan WhatsApp ini, mungkin kurang lebih sebagai upaya agar lebih mentradisikan filosofi dan mekanisme tawashau bil-haq wa tawashau bish-shabr, saling mewasiati, saling memberi informasi, dan saling menyodorkan gagasan dalam sebuah niatan.
Saya yakin, ini bukanlah sebuah parade dalam memperlihatkan dan memasang gengsi-gengsi intelektual serta 'kealiman' dengan songkok masih melekat di kepala buat persiapan ke masjid untuk jumatan setrlah pendaftaran.
Namun ini adalah penasbihan sebuah simbol etika publik dan spirit niatan pengabdian, moral dan spiritualitas dalam dunia pendidikan tinggi kita di momentum pemilihan Rektor Unhas.
Ikhtiar Kolektif Civitas Akademika
Secara pribadi, tak banyak kesempatan berbincang dengan sosok bersahaja yang satu ini.
Di satu waktu, dengan baju kaos oblong putih dan topi dengan warna yang telah memudar, pria paruh baya itu tersenyum ramah.
Sepintas lebih terlihat seseorang dari kalangan pekerja kantoran perusahaan kelas menengah, yang baru saja menerima gaji bulanan sedang mengajak anak istri beserta cucu makan bersama di pusat perbelanjaan.
Tak ada yang istimewa dan mewah dari tampilan luarnya.
Saya menghampirinya dengan satu kalimat sederhana "Prof, boleh minta foto bersama?", dia pun langsung menyambut dengan balasan ramah "ayo".
Dekan fakultas Pascasarjana Universitas Hasanuddin ini saat itu lalu merapatkan bahunya saat kamera handphone merekam momen foto bersama kami.
Momen yang cukup berkesan, bisa bertemu langsung dengan pribadi yang sederhana ini menjadi sebuah cerita tersendiri. Salah satu ilmuwan, cendekiawan Indonesia asal Sulsel berada tepat di hadapan saya.
Uniknya tanpa tampilan dengan hiasan aksesoris mahal agar bisa diprediksi lebih awal kelas intelektual dan jabatannya.
Semua terlihat sederhana namun tetap bersahaja.
Dan di pagi hari ini, tepat Jumat 22/ 08, Professor bersahaja itu memenuhi panggilan panitia pendaftaran Calon Rektor Unhas, sebagai langkah awalnya mewujudkan kampus merah ini menjadi universitas riset kelas dunia, dimana dia menjadi salah satu calon rektor yang diprediksi mampu menjaga martabat akademik sekaligus menunjukkan bahwa langkahnya guru besar yang akrab dipanggil Prof Budu ini, adalah bagian dari ikhtiar kolektif, bukan semata ambisi pribadi, melainkan tanggung jawab bersama sebagai bahagian dari civitas akademika guna menjaga marwah kebesaran Unhas.
Pengabdian Ilmu, Masyarakat, dan Peradaban
Mengapa kesadaran untuk pengabdian ilmu, ke masyararakat acapkali harus melangkah awal dari wilayah-wilayah suksesi semacam ini?
Hal ini dikarenakan, bahwa bisa jadi kesucian hari Jumat akan lebih menguatkan keinsafan keilahian kepada semua yang menjadi bahagian ikhtiar Prof Budu ini. Bahwa selain semuanya tetap akan membutuhkan pertanggung jawaban di hadapan Ilahi.
Ini adalah ikhtiar akademik yang disandarkan pada nilai religius yang tetap berorientasi pada ilmu pengetahuan, sebuah simbol kolektif dari bahagian civitas akademika yang terpanggil di tengah dinamika universitas, yang sebentar lagi akan memasuki tahapan yang lebih menyerap banyak energi, dan memicu adrenalin setiap variabel yang berdinamika di dalamnya.
Variabel orang-orang yang ikut berdinamika di dalamnya, juga sesungguhnya adalah semacam pekerja sejarah yang nyata. Mereka adalah pejalan-pejalan akademis, pelaku-pelaku mekanisme kenyataan, yang tahu betul apa isi dunia kampus, sehingga mereka juga memiliki pemikiran yang strategis dan mendasar, jika harus menerjemahkan konversi nilai religius itu ke dalam aktualisasi realistik di momen pemilihan rektor Unhas ini.
Apa yang di ikhtiarkan Prof Budu di hari jumat ini, akan menjadi langkah-langkah adab-budaya bagi insan akademis yang berhikmah dari kerendahhatian.
Sehingga kelak, produk yang dihasilkan saat amanah rektor itu ditakdirkan kepadanya, akan menghindarkan umat pada keterjebakan dan bumerang peradaban yang terlalu mahal dampaknya jika tidak segera dibenahi, khususnya pada mindset gen alpha dan para gen z yang baru saja memasuki proses belajarnya di dunia kampus.
Tidak mudah memang perjuangan seorang Prof Budu, khususnya ketika harus bersaing dengan petahana yang masih ikut berkompetisi di Pilrek kali ini.
Tradisi dua periode seolah menjadi mitos tersendiri, yang acapkali memaksa para calon Rektor baru untuk tidak usah buang-buang energi.
Dan mungkin nanti, kondisi seperti itu akan menjadi situasi yang akan terasa buntu, seolah tidak ada lagi jalan untuk membalikkan keadaan bagi Prof Budu dan Timnya.
Namun ingatkah kita apa yang pernah diungkapkan oleh Harriet Beecher Stowe (1811–1896), seorang novelis asal Amerika Serikat, bahwa "Jika Anda berada di tempat yang sulit dan segala sesuatu menentang Anda sampai-sampal Anda merasa tidak akan mampu bertahan lebih dari semenit lagi, jangan pernah menyerah karena justru itulah tempat dari waktu ketika gelombang akan berbalik".
Dari titik inilah, seorang Prof Budu akan mengajarkan anak bangsa di lintas generasi, bahwa perjuangan akademik bukan sekadar soal menang atau kalah, melainkan keberanian untuk tetap setia pada nilai, teguh pada cita, dan percaya bahwa setiap langkah yang tulus selalu akan menemukan jalannya.
Dan bisa jadi, kalimat tersebut menjadi rangkaian pidatonya guna mengikat solidaritas civitas akademik, menanamkan visinya kepada mereka, serta sebagai penanda permulaan kepemimpinannya di Unhas, tepat disaat dia baru saja menjalani prosesi pelantikan sebagai Rektor Universitas Hasanuddin 2026-2030.(*)