Dewan Pers

Sosok Datuk Maringgih Jadi Contoh Ketua Dewan Pers Saat Jelaskan Bahaya Post Truth dan AI

Editor: Muh Hasim Arfah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

DATUK MARINGGIH- Ketua Dewan Pers Prof Dr Komaruddin Hidayat MA (kiri) dan Anggota Dewan Pers Dahlan Dahi (kanan) saat jadi pembicara dalam Pelatihan hybrid Penggunaan AI untuk Desain Proposal Marketing Bisnis Pers 2nd batch di hall Dewan Pers, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis (21/8/2025) siang. Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2006-2015) ini mencontohkan sosok Datuk Maringgih di serial sinema elektronik Siti Nurbaya (TVRI; 1991-1992). Peran dramatis realisnya di sinetron adaptasi dari roman Kasih Tak Sampai (Marah Rusli; 1922) itu, dibenci, dicaci hingga diludahi oleh masyarakat.

TRIBUN-TIMUR.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Pers Prof Dr Komaruddin Hidayat MA (72) mengingatkan bahaya publik atas penggunaan serampangan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) oleh media massa dan jurnalis.

Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2006-2015) ini mencontohkan sosok Datuk Maringgih di serial sinema elektronik Siti Nurbaya (TVRI; 1991-1992).

Peran dramatis realisnya di sinetron adaptasi dari roman Kasih Tak Sampai (Marah Rusli; 1922) itu, dibenci, dicaci hingga diludahi oleh masyarakat.

"Saya ingat, di pasar pedagang, penjual meludahi dan buang muka saat lihat (pemeran) Datuk Maringgih. Aslinya, dia itu orang sangat baik. Tapi karena peran antagonis di (sinetron) Siti Nurbaya, masyarakat membencinya," ujar Komaruddin Hidayat di hall Dewan Pers, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis (21/8/2025) siang.

Menurutnya itulah fenomena post truth dengan era artificial intelligence (AI).

Ketua Dewan Pers menyampaikan itu dalam sambutan tanpa teks di hadapan peserta Pelatihan hybrid Penggunaan AI untuk Desain Proposal Marketing Bisnis Pers 2nd batch.

Di aula Dewan Pers hadir sekitar 20-an audience. Peserta daring via aplikasi Zoom Meeting dan Channel YouTube mencapai 130-an.

Hadir juga Ketua Komisi Digital Sustainability Dewan Pers Dahlan Dahi (53), sebagai pengantar pelatihan.

Pemateri kuncinya,  Ramya Prajna Sahisnu. Dia Konsultan Digital & Teknologi Co-CEO Think.Web.

Menurut Komaruddin, kala melihat langsung Datuk Maringgih, audiens sinetron itu hanya mempercayai realitas faktual sesuai dengan perasaan dan subyektivitas pribadinya.

Publik hanya tahu realitas bentukan persepsinya dari sinetron produksi TVRI itu.

Mereka, jelas Komaruddin, tak mau lagi cari tahu siapa Datuk Maringgih sosok jahat yang menindas, menikahi dan menjebak keluarga Siti Nurbaya sehingga cintanya dengan Syamsul Bahri tak kesampaian hingga akhir hayatnya.

Dalam realiatas sesungguhny Datuk Maringgih hanya aktor di senitron  adaptasi dari roman Siti Nurbaya; Kasih Tak Sampai terbitan Balai Pustaka 1922.

Roman karya Marah Rusli ini diadaptasi jadi sinetron oleh sutradara Dedi Setiadi tahun 1991.

Kala itu, Datuk Maringgih diperankan aktor kawakan Haji Incik Muhammad (HIM) Damsyik (1929-2012). 

Siti Nurbaya oleh Novia Kolopaking (52), dan sejak 1993 jadi istri Emha Ainun Nadjib (72).  

Sedangkan Samsul Bahri diperankan Gusti Randa (60), kini pengacara dan politisi PKB.

Menurut Komaruddin Hidayat, realitas yang diciptakan dari hasil AI dipublikasi dan viral di media sosial berpotensi mempertebal dampak post truth di masyarakat digital.

Dewan Pers berharap, penerbit, perusahaan media digital, dan organisasi profesi jurnalis ikut mengedukasi masyarakat.

Komaruddin adalah intelektual Muslim moderat Indonesia. 

Saat kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah dia pernah jadi jurnalis.

"Kita dulu cati berita naik turun bus. Cari berita eksklusif. Sekarang berita flat, cenderung seragam dan minim garapan eksklusif," ujarnya menyebut tantangan media massa Indonesia.

Setelah diamanahkan jadi Ketua Panitia Pengawas Pemilu tahun 2004, dia dipercaya menjadi Rektor UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (2006-2015).

Setelah menjabat Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (2019-2024), alumnus pesantren Muntilan Magelang, ini menjabat ketua dewan pers, mewakili masyarakat.

Tugas besar dewan pers adalah menjaga masyarakat agar tetap mendapat informasi faktual, aktual, relevan, mengendapkan cara-cara etik sesuai dengan karakter bangsa.

Di forum sama, anggota Ketua Bidang Digital dan Sustainability Dewan Pers Dahlan Dahi (53) menyebut realitas digital seharusnya tetap dekat realitas obyektif dan mempertegas realitas intersubjektif.

Mengutip klasifikasi 3 jenis realitas dari buku Sapiens Yuval Noah Harari, CEO Tribun Network ini, menyebut media massa kini bukan semata menyajikan realitas obyektif melainkan juga ikut memperkecil "realitas subyektif".

Konsep tentang bangsa, Pancasila, uang, dan ideologi negara itu realitas intersubjektif.

"Sejarah perjuangan Soekarno, para pahlawan adalah story (cerita) yang membentuk realitas intersubjektif. Jika anak-anak yang lahir 5 atau 10 tahun kedepan tak dapat dan tak mau lagi pelajari lagi story itu, maka negara nanti akan pupus. Itu bagian dari tugas dewan pers."  ujar jebolan Unhas ini. (*

Berita Terkini