TRIBUN-TIMUR.COM - Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Kabupaten Bone, memicu amarah warga dan mahasiswa.
Pemkab Bone disebut menaikkan PBB-P2 hingga 300 persen.
Pemkab sendiri membantah, kenaikan hanya 65 persen.
PBB-P2 satu dari 24 objek pajak yang dipungut pemerintah dari masyarakat.
Sudah dua hari mahasiswa demonstrasi di Bone.
Baca juga: Target Pajak Bumi dan Bangunan Bone Naik dari Rp29 Miliar Jadi Rp50 Miliar, Tuai Demo Masyarakat!
Yaitu pada Selasa (12/8/2025) bertepatan dengan kedatangan Ketua Komisi IV DPR RI Titiek Soeharto di Kampung Bakunge, Desa Mappesangka, Kecamatan Ponre.
Demo kedua pada Kamis (13/8/2025).
Dua kelompok mahasiswa yang berdemo, yaitu mahasiswa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) demonstrasi di kantor DPRD dan Bupati Bone.
Massa memprotes karena kenaikan PBB-P2 dilakukan secara sepihak.
Ketua DPRD Bone, Andi Tenri Walinonong, memastikan DPRD menolak menyetujui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) jika tidak ada penyesuaian terhadap kenaikan PBB-P2.
“Kenaikan PBB-P2 ini kami baru tahu dua hari lalu karena tidak ada koordinasi dengan DPRD. Kami belum menyetujui RPJMD karena di dalamnya ada kenaikan PBB-P2 yang belum jelas kajiannya,” ujar Ketua DPRD Bone, Andi Tenri Walinonong, Rabu (13/8/2025).
Ia mengungkapkan, dalam pemeriksaan LKPD Bone tahun anggaran 2024, ditemukan sejumlah masalah, antara lain penganggaran penerimaan pembiayaan silpa tanpa dasar memadai, penggunaan kas daerah yang tidak sesuai ketentuan.
Selain itu ada juga pengelolaan pendapatan daerah yang tidak sesuai aturan, kekurangan penerimaan, pencatatan piutang PBB-P2 yang tidak rinci per wajib pajak, serta adanya pungutan yang tidak disetor ke kas umum daerah.
Menurutnya, kenaikan PBB-P2 harus dikaji ulang karena sebelumnya BPK sudah memberikan peringatan.
“RPJMD adalah roh semua rencana kerja pemerintah daerah. Jika DPRD menyetujui asumsi kenaikan PAD di dalamnya, berarti kami juga menyetujui kenaikan PBB dan retribusi,” tegasnya.
DPRD juga siap menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan mahasiswa melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Bapenda.
Ketua Komisi I DPRD Bone, Rismono Sarlim, menambahkan banyak warga merasa PBB-P2 naik hingga 300 persen karena NJOP yang ditetapkan awal 2024 naik di tengah tahun, lalu kembali naik pada Januari 2025.
Padahal, NJOP sesuai UU Nomor 1 Tahun 2022 dan PP Nomor 35 Tahun 2023 ditetapkan per 1 Januari sebagai dasar pengenaan PBB-P2.
“Apa yang mendasari pemerintah daerah menaikkan NJOP? Regulasi apa yang menjadi dasar? Kalau diubah, seharusnya melalui perubahan perbup,” ujarnya.
Dua kali unjuk rasa, mahasiswa tak pernah ditemui Bupati Bone, Andi Asman Sulaiman.
Kamis kemarin, aksi dimulai pukul 14.00 Wita, diwarnai orasi bergantian dari perwakilan mahasiswa yang mengecam kebijakan kenaikan PBB-P2.
Mereka menilai kebijakan tersebut tidak berpihak kepada masyarakat kecil.
Massa aksi membawa spanduk bertuliskan penolakan kenaikan pajak dan sejumlah poster dengan sindiran tajam terhadap pemerintah Kabupaten Bone.
Mereka juga menggunakan pengeras suara untuk menyampaikan tuntutan.
Koordinator lapangan, Rafli mengatakan mayoritas masyarakat Bone saat ini masih berjuang memulihkan ekonomi pasca pandemi dan dampak kenaikan harga kebutuhan pokok.
"Di tengah kondisi sulit seperti ini, pemerintah malah menaikkan pajak. Ini kebijakan yang tidak pro rakyat," tegasnya.
Mahasiswa mengaku telah menyiapkan berbagai data dan fakta lapangan untuk disampaikan langsung kepada Andi Asman Sulaiman.
Mereka berharap ada dialog terbuka terkait alasan kenaikan pajak tersebut.
Namun, harapan itu pupus. Setibanya di Kantor Bupati, mereka diberitahu bahwa bupati tidak berada di tempat.
Kepala Dinas Kominfo, Anwar wakili bupati temui demonstran.
Kondisi tersebut memicu kekecewaan mendalam di kalangan mahasiswa.
Mereka merasa suara masyarakat Bone tidak dihargai oleh pemimpin daerahnya.
"Kami sudah datang jauh-jauh untuk menyampaikan aspirasi, tapi justru diabaikan. Ini bukti pemerintah tidak serius mendengar rakyat," kata salah satu orator aksi.
Sejumlah mahasiswa kemudian duduk berdiam diri di halaman kantor sebagai bentuk protes simbolik atas ketidakhadiran Bupati.
Mereka menganggap sikap itu sebagai bentuk penolakan pemerintah untuk berdialog.
Dalam orasinya, massa menegaskan kenaikan PBB-P2 tidak hanya membebani masyarakat, tetapi juga meningkatkan angka tunggakan pajak. Kemampuan bayar warga semakin rendah.
Mereka menuntut pemerintah segera membatalkan kebijakan tersebut.
Dan melakukan evaluasi ulang dengan melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
"Ini baru pemanasan. Kalau bupati terus menghindar, kami akan datang lagi dengan massa yang lebih banyak," kata Rafli.
Massa dan Aparat Saling Dorong
Aksi unjuk rasa ini berakhir ricuh. Massa dan aparat keamanan saling dorong.
Kericuhan bermula saat demonstran memaksa maju mendekati pintu masuk kantor bupati untuk menyampaikan aspirasi.
Namun, mereka diblokade polisi dan Satpol PP di depan pintu gerbang.
Massa pun murka hingga aksi saling dorong pun terjadi.
Suasana semakin panas ketika pendemo lempari polisi dan Satpol PP pakai botol air.
“Ini bentuk kekecewaan kami karena Bupati Bone tidak menemui rakyatnya,” teriak seorang orator melalui pengeras suara.
Selain membebani warga di tengah kondisi ekonomi yang sulit, Pemkab Bone dituding tidak transparan menetapkan tarif pajak.
“Banyak warga mengeluh, ada yang pajaknya naik hingga dua kali lipat. Ini tidak masuk akal,” kata salah satu demonstran.
Aparat berulang kali mengimbau massa untuk tidak bertindak anarkis dan tetap menjaga ketertiban.
Namun, desakan massa membuat situasi semakin memanas.
Di tengah kericuhan, beberapa peserta aksi terlihat menyiramkan air mineral ke arah aparat.
Meski begitu, bentrokan fisik yang lebih besar berhasil dicegah pihak keamanan.
Hingga aksi berakhir, Andi Asman Sulaiman tidak menemui massa.
Mereka berjanji akan kembali turun ke jalan jika tuntutan tidak direspons.
Aksi ini menjadi kelanjutan dari rangkaian protes terkait PBB-P2 di Bone yang sudah berlangsung sejak dua hari lalu.
DPRD: Kebijakan Tak Berdasar
DPRD Bone menyoroti kebijakan pencetakan ulang SPPT PBB oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab).
Sorotan disampaikan Ketua Komisi IV DPRD Bone, Andi Muhammad Salam, saat mengikuti lanjutan Rapat Panitia Khusus (Pansus) I membahas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang RPJMD 2025–2029, di Ruang Banggar DPRD Kabupaten Bone, Kamis (14/8/2025).
Politikus yang akrab disapa Lilo itu menilai langkah pencetakan ulang SPPT tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Menurutnya, SPPT seharusnya hanya dicetak satu kali untuk satu tahun pajak.
“Jika dilakukan pencetakan kedua, harus ada alasan yang kuat dan sesuai aturan yang berlaku,"ujarnya
"Kalau SPPT sudah diserahkan ke wajib pajak, pencetakan ulang tanpa prosedur yang tepat bisa menimbulkan kebingungan dan berpotensi menyalahi aturan,” tegasnya.
Menurutnya, hingga saat ini pihaknya belum menerima penjelasan dasar hukum dan prosedur pencetakan SPPT kedua tersebut.
Karena itu, Pemkab Bone diminta transparan agar masyarakat tidak dirugikan.
“Apa dasarnya? Kita cetak kedua malah ada kenaikan. Di DPRD belum pernah dibahas, tapi kenapa sudah dibagi?,” ujarnya.
Lilo juga meminta Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Bone untuk menarik kembali cetakan kedua SPPT PBB.
“Saya minta cetakan kedua ditarik. Harusnya yang kita cetak di awal itulah yang dibagikan. Karena ini yang kita tahu di DPRD," bebernya.
"Sekarang belum ada Perda baru, yang ada hanya Perda lama. Masyarakat bertanya ke kami, kami tidak tahu, karena yang diketok palu itu hanya yang awal,” paparnya.
Pihak DPRD berkomitmen mengawal persoalan ini untuk memastikan tidak ada pungutan yang tidak sesuai aturan.
“Kita ingin memastikan setiap kebijakan sesuai regulasi dan tidak memberatkan rakyat,” tegasnya.
Pemkab Bone melalui Kepala Bagian Hukum, Ramli, menjelaskan bahwa dasar penerbitan SPPT PBB-P2 kedua adalah Instruksi Bupati (Inbup).
Namun, Lilo menilai meski ada Inbup, kebijakan tersebut seharusnya melalui mekanisme persetujuan DPRD.
“Apapun itu, yang namanya PAD apalagi PBB, harus sepengetahuan DPRD. Itu jalur yang harus dilalui,” ujarnya.
Ia menambahkan, SPPT pertama memiliki dasar untuk dibagikan ke masyarakat karena sudah tercantum dalam RKPD.
Sementara SPPT kedua, yang memuat kenaikan akibat penyesuaian Zona Nilai Tanah (ZNT), tidak pernah dibahas di DPRD.