TRIBUN-TIMUR.COM – Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia menegaskan penolakannya terhadap rencana peleburan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) ke dalam struktur Badan Penyelenggara Haji (BP Haji).
Rencana tersebut mencuat dalam pembahasan revisi dua undang-undang penting terkait haji, yakni UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji dan UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Ketua Komisi VIII DPR, Marwan Dasopang, menyampaikan bahwa lembaganya tidak akan mengambil opsi peleburan dua badan tersebut.
Menurutnya, pemisahan antara fungsi pengelolaan keuangan dan pelaksanaan teknis penyelenggaraan haji merupakan hal esensial demi mencegah terjadinya konflik kepentingan.
"Kita meyakini pemisahan ini penting. Karena kalau dia yang pegang uang, lalu dia juga yang belanja, itu cukup rawan,” ujar Marwan dalam pernyataan resminya, Rabu (6/8/2025).
Marwan menekankan bahwa pemisahan tugas antara BPKH sebagai pengelola dana jemaah haji dan BP Haji sebagai pelaksana operasional ibadah haji adalah bentuk penguatan tata kelola yang transparan dan akuntabel.
Ia juga menyebutkan bahwa Komisi VIII DPR saat ini masih dalam tahap pembahasan mendalam mengenai formulasi ideal pemisahan peran tersebut.
Komisi VIII juga membuka ruang dialog dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat, akademisi, dan pihak eksekutif.
Pendekatan ini dilakukan guna menghasilkan kebijakan inklusif yang dapat bertahan dalam jangka panjang dan melindungi kepentingan jemaah haji.
“Kami ingin keputusan ini nantinya tidak hanya baik di atas kertas, tapi juga mampu menjawab tantangan pengelolaan haji di masa depan,” tambah Marwan.
Sebelumnya, Kepala BP Haji, Muchamad Yusuf Irfan, mengusulkan dua skema terkait penyatuan kelembagaan haji. Opsi pertama adalah peleburan BPKH ke dalam BP Haji, menjadikan BP Haji sebagai satu-satunya otoritas dalam semua aspek penyelenggaraan haji, termasuk keuangan.
Opsi kedua adalah mempertahankan BPKH sebagai lembaga terpisah, namun di bawah koordinasi BP Haji, demi efisiensi birokrasi.
Namun, usulan tersebut memantik perdebatan karena dinilai berisiko mengaburkan batas antara pengelolaan dana dan eksekusi operasional, yang selama ini dijaga untuk menjamin akuntabilitas.(*)