Oleh: Aswar Hasan
Dosen Fisipol Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - Pemberian amnesti dan abolisi oleh Presiden Prabowo kepada Hasto Kristiyanto dan Thomas Lembong menandai babak baru dalam politik hukum Indonesia yang patut dikritisi dengan tajam.
Alih-alih menjadi solusi atas politisasi hukum, kebijakan ini justru menunjukkan bahwa supremasi hukum kian patut dipertanyakan bahwa apakah penegakan hukum kita kian tergerus oleh supremasi politik.
Keputusan ini menjadi pukulan telak bagi semangat penegakan hukum yang objektif, transparan, dan bebas intervensi kekuasaan.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Zaenur Rohman, menilai bahwa dalam kasus Tom Lembong, unsur kesalahan bahkan tidak terpenuhi, termasuk mens rea atau niat jahat.
Sementara dalam kasus Hasto, ada aspek politik yang kental, meskipun unsur hukum tetap ada.
Dengan kata lain, ketimbang memaksakan solusi politis berupa amnesti atau abolisi, seharusnya yang jadi sasaran koreksi dilakukan terhadap lembaga penegak hukum yang menangani perkara tersebut.
Reformasi internal—bukan intervensi politik—adalah jawaban atas kekacauan penegakan hukum kita.
Politisasi Hukum
Apa yang terjadi sekarang justru sebaliknya: kesalahan prosedur hukum direspons dengan tindakan politis.
Ini, menurut Zaenur, adalah “obat yang salah.” Jika pola ini diteruskan, akan terjadi pembiasaan: hukum bisa dilipat sesuai arah angin kekuasaan, dan keputusan politik menjadi pelindung atas ketidakadilan atau kepentingan kelompok tertentu. Ini sangat berbahaya. Hukum yang semestinya menjadi panglima, kini berisiko dikerdilkan menjadi alat politik.
“Kalau pola itu yang digunakan enak sekali ingin menundukkan lawan, kriminalisasi dengan hukum lalu berikan pengampunan.
Itu ngeri sekali. Efek ke depannya tidak main-main, hukum bukan lagi panglima, melainkan kepentingan politik", katanya (Kompas. co,3/7/2025).
Senada dengan Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera yang juga berpandangan bahwa langkah amnesti dan abolisi ini adalah bentuk politisasi hukum tahap kedua.
Jika awalnya hukum dipolitisasi untuk menjatuhkan, maka kini hukum kembali dipolitisasi untuk menyelamatkan. Dua-duanya sama buruknya bagi demokrasi.
Penyelesaian masalah hukum lewat jalur politik tidak hanya merusak institusi hukum, tetapi juga membiasakan rakyat melihat keadilan sebagai hasil lobi, bukan proses yang fair dan transparan (Kompas,2/7/2025).
Lebih keras lagi, Mahfud MD, tokoh hukum yang selama ini tidak pernah menyalahkan hakim dalam kasus korupsi, justru turut bersuara, bahwa "Rasa keadilan kita terancam."
Mahfud mengungkapkan bahwa dalam kasus Tom Lembong, tidak ditemukan keadilan. Ini menunjukkan bahwa krisis hukum kita sudah sampai ke jantungnya, yakni; kepercayaan publik terhadap peradilan dan penegak hukum.
Dengan amnesti dan abolisi ini, Indonesia sedang mengambil jalan pintas yang salah. Penyalahgunaan hukum untuk politik tidak bisa diselesaikan dengan menyalahgunakan politik atas nama hukum.
Jika preseden ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin amnesti dan abolisi ke depan hanya akan jadi instrumen kekuasaan, bukan alat koreksi keadilan.
Sementara itu, Advokat Ahmad Khozinuddin, Koordinator Tim Advokasi Anti Kriminalisasi Akademisi dan Aktivis, menyatakan kekhawatirannya bahwa langka ini adalah prakondisi, agar masyarakat melupakan kasus ijazah palsu Jokowi dan permisif.
Berdamai dengan kebohongan dan kepalsuan. Kekuasaan, akan membangun narasi demi persatuan kasus ijazah palsu akan dihentikan. Tapi, ini masih analisis dugaan.
Citra Rezim
Di sisi lain, ada dugaan bahwa putusan Amnesti dan Abolisi tersebut bisa jadi merupakan koreksi atas hasil politisasi hukum rezim di masa lalu yang merupakan residu politisasi hukum.
Abolisi dan Amnesti itu adalah bentuk upaya mengikis atau menekan akibat campur tangan kepentingan politik dalam proses dan institusi hukum pada rezim masa lalu, agar hukum dapat ditegakkan secara objektif, adil, dan independen.
Dengan demikian, itu merupakan pukulan penegakan hukum yang masih terpengaruh rezim masa lalu.
Sekaligus itu juga merupakan respon mengantisipasi kesimpulan dari opini publik bahwa proses dan putusan hukum atas Hasto dan Tom Lembong sarat politisasi dan minus rasionalisasi hukum sebagai panglima.
Karena rezim Prabowo tak ingin citranya tergerus dan ingin mengakhiri politisasi hukum dan berakhir pada Hasto dan Tom Lembong.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sedang dibahas di DPR RI, khususnya terkait kewenangan penangkapan oleh polisi, menuai sorotan tajam.
Salah satu poin yang menjadi perhatian adalah potensi perubahan aturan penangkapan yang memungkinkan polisi melakukan penangkapan tanpa surat perintah dalam kondisi tertentu, serta kewenangan penyadapan yang dianggap kurang terkontrol.
Kekhawatiran muncul karena penangkapan tanpa surat perintah yang diperluas bisa membuka celah penyalahgunaan wewenang dan berpotensi menimbulkan masalah baru seperti salah tangkap, kekerasan, dan kriminalisasi.
Karenanya, sebelum ditetapkan sebagai undang- undang, berbagai masukan atau pun kritik diperlukan oleh negara, demi masa depan negara yang lebih baik.
Dari berbagai permasalahan tersebut, kita mesti prihatin dengan nasib dan prospek hukum dan demokrasi kita di masa depan.
Tanpa pemulihan kepercayaan pada institusi hukum dan demokrasi kita, Indonesia hanya akan jadi panggung drama politik, bukan negara hukum yang sejati sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi yang menjadi harapan kita bersama harapkan bersama. Wallāhu a‘lam bish-shawāb.(*)