TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR – Moda transportasi petepete di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) kian terpinggirkan.
Petepete mulai ditinggalkan oleh warga.
Padahal dulu, pete-pete menjadi andalan warga Makassar untuk beraktivitas setiap harinya.
Pengamat Transportasi, Mukhtar Tahir Syarkawi mengatakan, penyebab petepete kurang diminati karena kapasitas tak cukup banyak.
Ditambah lagi, pete-pete tak alami transformasi perbaikan.
Tingkat keamanan dan kenyamanan tak terjamin.
Baca juga: Petepete Tergerus Transportasi Online, Sisa 643 Beroperasi di Makassar
Di lain sisi, tingkat kemajuan dan perekonomian warga Makassar meningkat. Tentu mereka membutuhkan pelayanan prima.
“Tidak ada pembaharuan kendaraan, sementara dengan tingkat kemajuan dimiliki warga di Makassar, tingkat ekonominya meningkat. Itu dalam teori transformasi kalau ekonomi meningkat, maka pelayanan harus lebih baik,” ungkapnya saat dihubungi Tribun-Timur.com, Selasa (24/6/2025).
Kemunculan transportasi berbasis online turut serta membuat petepete terpinggirkan.
Transportasi berbasis online semakin banyak, tapi ini ini justru membebani jalanan. Salah satu dampaknya kemacetan.
Selain itu, trayek petepete dan dealer kendaraan yang memberikan down payment (DP) rendah cukup memengaruhi warga, walaupun pengaruhnya tak terlalu besar.
Namun bukan hal tersebut menjadi masalahnya, melainkan petepete tak bagus sehingga orang condong beli kendaraan pribadi.
Ia yakin, seandainya petepete bagus begitupun dengan sarana pendukungnya pasti warga akan beralih dari kendaraan pribadi ke petepete.
Makanya, Mukhtar Tahir menyebut, transportasi umum di kota itu bukan lagi kebutuhan sekunder, tapi kebutuhan primer, setara dengan listrik, air minum.
“Jadi harus didorong menjadi kebutuhan utama,” tegas Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Wilayah Sulsel ini.
Subsidi Petepete
Mukhtar Tahir mengaku pernah menyarankan petepete sudah seharusnya tidak beroperasi di jalan utama.
Namun, pete-pete menjadi angkutan pengumpan dan disubsidi oleh pemerintah sehingga pendapatannya tetap.
Misal, jika jadi pengumpan dari jalanan nomor dua ke jalanan nomor satu di situ dihitung jumlah pendapatannya.
Kalau selama ini pendapatannya Rp 3 juta-Rp 4 juta, maka pemerintah berkewajiban memberikan bantuan.
“Angkutan umum itu, di mana pun di dunia ini harus disubsidi, sekarang apakah pemerintah kita, wali kota, gubernur punya kepedulian soal itu,” tutur Dekan Fakultas Teknik Universitas Muslim Indonesia (FT-UMI) ini.
Pajak Kendaraan untuk Transportasi
Mukhtar Tahir mempertanyakan fungsi membayar pajak kendaraan.
Sebab, menurutnya, pembayaran pajak kendaraan harusnya dikembalikan untuk perbaikan fasilitas transportasi, seperti lampu jalan, markah jalan dan hal lain berhubungan dengan transportasi.
Bukan malah untuk membiayai kebutuhan lain yang tak ada sangkut pautnya dengan transportasi
“Padahal pajak kendaraan dikembalikan transportasi termasuk subsidi ke pete-pete,” tutupnya.