Sisanya, 92 persen memilih diam. Alasannya? Tak ada satgas saat kejadian, takut tidak dipercaya, malu, takut dibalikkan sebagai pelaku, atau karena trauma yang belum bisa mereka hadapi.
Di balik layar survei daring itu, salah satu korban dari UNM menulis lirih.
“Saya tidak tahu harus bicara ke siapa. Dosen yang saya hormati justru pelakunya. Saya takut, malu, dan merasa tidak akan dipercaya.”
Lainnya, mahasiswa dari UIN menyampaikan lewat kolom komentar: “Saya pernah coba cerita ke senior, malah dibilang lebay dan disuruh diam.”
Keduanya tidak pernah melapor ke pihak kampus, satgas, atau lembaga manapun.
Mereka memilih diam di dunia nyata, namun memberanikan diri bercerita di ruang daring tidak menuntut nama dan wajah.
Hasil ini menegaskan, kekerasan seksual bukan hanya soal tindakan, tapi soal sistem yang membungkam.
Ketika korban harus membisu karena takut tidak dipercaya, karena pelaku punya kuasa, atau karena kampus tidak memberi perlindungan, maka kekerasan itu terus hidup tanpa sanksi, tanpa perbaikan.
Ada korban bahkan tidak sadar bahwa pengalaman mereka tergolong sebagai kekerasan seksual. Ada pula merasa melapor hanya akan memperpanjang trauma, tanpa jaminan keadilan. (*)