TRIBUN-TIMUR.COM- Ketua Bidang Kelautan dan Perikanan Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MN KAHMI), Awaluddin mengapresiasi langkah pemerintah mencabut empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) di kawasan Raja Ampat.
Namun, ia menegaskan bahwa langkah tersebut tidak boleh berhenti pada pencabutan izin semata, melainkan harus dilanjutkan dengan audit ekologis guna mengukur kerugian lingkungan yang telah ditimbulkan.
"Kita jangan puas dulu hanya dengan pencabutan izin, tapi harus mendorong segera dilakukan audit untuk menghitung nilai kerugian lingkungan selama mereka beroperasi di Raja Ampat," ujar Awaluddin dalam siaran persnya, Selasa (10/6/2025).
Menurutnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dapat bekerja sama dengan para ahli lingkungan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia untuk melakukan audit tersebut secara menyeluruh.
"Apalagi pemerintah sudah menyatakan bahwa salah satu alasan pencabutan izin perusahaan IUP itu adalah karena faktor lingkungan," kata Awaluddin yang juga merupakan Dewan Penasehat Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO).
Awaluddin menduga aktivitas pertambangan keempat perusahaan tersebut telah menyebabkan kerusakan pada ekosistem laut, penurunan potensi perikanan, serta ancaman terhadap kelestarian biota bawah laut yang selama ini menjadi ikon pariwisata Raja Ampat.
"Selama ini kita hanya terpaku pada aspek kerugian ekonomi dan investasi, padahal kerugian lingkungan jauh lebih besar dan parah," tambahnya.
Ia menekankan pentingnya audit ekologis sebagai dasar dan bukti pendukung bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran lingkungan oleh keempat perusahaan tambang nikel tersebut.
Awaluddin juga menyebutkan bahwa sudah ada preseden hukum terkait kerugian lingkungan dalam kasus pertambangan. Ia mencontohkan kasus korupsi tata niaga timah yang ditangani Kejaksaan Agung, di mana luas lahan yang rusak mencapai dua kali lipat wilayah DKI Jakarta.
Kasus tersebut melibatkan IUP PT Timah Tbk pada periode 2015–2022 dan telah menjerat belasan tersangka, termasuk Helena Lim dan Harvey Moeis, suami artis Sandra Dewi.
"Dalam kasus pertambangan nikel di Raja Ampat ini, saya yakin nilai kerugiannya bisa lebih besar dibanding kasus tambang timah di Bangka," ujar alumnus Kelautan Universitas Hasanuddin (Unhas) itu.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Investasi/BKPM resmi mencabut empat IUP di kawasan Raja Ampat, yakni milik PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Nurham, dan PT Anugerah Surya Pratama.
Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa keempat perusahaan tersebut tidak akan lagi beroperasi pada tahun 2025 karena tidak memiliki Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).
"(Tahun) 2025, enggak ada lagi perusahaan itu yang berproduksi. Kenapa? Karena RKAB-nya tidak ada," kata Bahlil dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa hari ini.