TRIBUN-TAKALAR.COM, TAKALAR – Pengurus Besar Himpunan Pelajar Mahasiswa Takalar (PB Hipermata) mengecam dugaan pemerasan dan penganiayaan terhadap Yusuf Saputra oleh oknum Sabhara Polrestabes Makassar.
“Hal ini menjadi sorotan kami publik, terutama Hipermata yang merupakan organisasi daerah yang menjadi wadah mahasiswa Takalar,” kata Kabid PPD Hipermata, Syarif, Selasa (3/6/2025).
Syarif menyebut, tindakan oknum tersebut mencoreng nama institusi kepolisian dan mencederai semangat Presisi.
Menurutnya, perbuatan itu tidak berperikemanusiaan dan terkesan sewenang-wenang.
“Tindakan oknum Sabhara Polrestabes Makassar yang melakukan penganiayaan dan pemerasan itu sudah seperti preman yang ada di tubuh institusi kepolisian, dan apa iya institusi kepolisian mau memelihara preman yang menggunakan seragam?” tegas Syarif.
Ia mendesak agar Polrestabes Makassar segera mengevaluasi dan menindak tegas anggota mencemarkan nama baik kepolisian.
"Ini sudah menjadi bukti bahwa Kasat Sabhara Polrestabes Makassar harus dicopot karena tidak bisa menjadi pimpinan yang baik. Kabid Propam dan Kapolda Sulsel juga harus memberikan tindakan tegas terhadap oknum anggota berperilaku preman. Dugaan menodong senjata tanpa dasar hukum, sama halnya memandang warga seperti teroris,” ucap Syarif.
“Kapolri membentuk Satgas Anti Premanisme untuk memulihkan citra kepolisian, namun justru dilanggar oleh oknum polisi sendiri," sambungnya.
Ketua Umum PB Hipermata, Ilham Akbar, juga menegaskan komitmen pihaknya untuk mengawal kasus ini hingga tuntas.
“Kabid Propam Polda Sulawesi Selatan tidak boleh kalah terhadap preman berseragam. Berikan sanksi tegas mungkin terhadap para oknum pelaku tersebut,” tegas Ilham.
“Peristiwa ini menjadi catatan buruk bagi Kapolri, Kadiv Propam Mabes, dan Komisi III DPR RI sebagai mitra kerja institusi kepolisian,” tambahnya.
Sebelumnya, Yusuf Saputra (20), warga Dusun Parang Boddong, Desa Boddia, Kecamatan Galesong, mengaku menjadi korban penganiayaan dan pemerasan oleh enam oknum anggota Sabhara Polrestabes Makassar.
Insiden itu terjadi Selasa malam, 27 Mei 2025, sekitar pukul 22.00 WITA di pasar malam Lapangan Galesong.
“Saya lagi nongkrong di lapangan, tiba-tiba sekitar enam orang datang, lalu menodongkan senjata ke kepala saya, lalu langsung pukuli saya. Salah satunya saya kenali, namanya Bripda Andika,” ujar Yusuf.
Ia mengaku dipaksa ikut ke mobil dan dibawa ke lokasi sepi. Di sana, Yusuf mengaku diikat, dipukuli, hingga ditelanjangi.
"Saya dipaksa ikut mereka, kemudian di bawah ke tempat sepi, di tempat sepi itulah saya diikat, dianiaya, terus disuruh buka semua pakaianku, mulai dari baju, celana, hingga celana dalam saya. Saya ditelanjangi sama itu polisi," ungkapnya.
Yusuf juga mengaku dipaksa mengakui narkoba jenis tembakau gorila yang disebut milik Bripda Andika, namun ia menolak karena merasa tidak pernah menyentuhnya.
Penganiayaan berlangsung hingga tujuh jam.
Yusuf baru dibebaskan setelah keluarganya diperas oleh oknum tersebut.
“Awalnya mereka minta uang Rp15 juta, tapi keluarga saya tidak punya uang sebanyak itu. Lalu mereka turunkan jadi Rp5 juta, tetapi tetap ditolak karena tidak sanggup,” terang Yusuf.
Akhirnya, keluarga Yusuf memberikan uang Rp1 juta agar ia segera dilepaskan.
"Itu Bripda Andika tidak mau ketemu secara langsung sama tanteku hingga tanteku minta tolong sama Ismail, temannya tanteku yang juga seorang anggota Brimob Pa'baeng-baeng, untuk memberikan uang satu juta rupiah langsung ke tangan Andika," pungkasnya.
Setelah uang diserahkan, Yusuf dilepas sekitar pukul 05.00 WITA.
“Jam 10 saya diambil lalu disekap, hampir jam 5 subuh saya dibebaskan setelah mereka terima uang,” tambahnya.
Keluarga Yusuf kemudian membawanya ke rumah sakit untuk visum.
Saat ini, Polres Takalar dan Propam Polda Sulsel tengah menyelidiki kasus tersebut.
Enam anggota Sabhara, termasuk Bripda A, sedang dalam pemeriksaan.
"Semua yang terlibat akan kita proses. Dan mereka kita patsus," kata Kabid Propam Polda Sulsel, Kombes Pol Zulham Effendy. (*)