Mengapa mekanisme disiplin hanya berlaku sepihak? Dimana letak keadilan sistemik dalam sepak bola Indonesia?
Penyambung Lidah
Reaksi publik terhadap sanksi Yuran sangat jelas dan tegas. Menurut akal sehat mereka, sanksi ini dipandang sebagai bentuk pembungkaman.
Aksi yang dilakukan sekelompok supporter PSM bersama kelompok supporter lainnya melalui tagar #KamiBersamaYuran, adalah bentuk gerakan perlawanan.
Gerakan ini bukan tentang solidaritas membela Yuran semata, melainkan memperjuangkan prinsip kebebasan berekspresi dalam sepak bola.
Akal sehat publik sepakat, kritik Yuran merupakan representasi suara publik yang selama ini diabaikan oleh Komdis PSSI.
Yuran sebenarnya tidak sedang berbicara untuk dirinya sendiri. Ia adalah penyambung lidah dari para pemain, pelatih, pengamat dan jutaan supporter sepak bola yang selama ini geram melihat ketidakadilan yang sering terjadi di lapangan hijau.
Sanksi ini bukan hanya menghukum seorang Yuran, tetapi juga membungkam suara publik.
Terlebih Yuran punya andil besar Bersama PSM Makassar memberikan tambahan poin untuk peringkat rangking sepakbola Indonesia di AFC Cup.
Mengingat apa yang diungkapkan Yuran di Instagram bukan hal baru. Hampir setiap saat di tribun stadion hingga warung kopi, obrolan tentang kinerja wasit yang tidak kompeten, keputusan kontroversial dan ketidaktransparanan liga selalu bergulir.
Inilah ironi sepak bola negeri ini, dimana kesalahan wasit dibiarkan, sementara yang mengkritik dihukum tanpa pembelaan.
Ujian Demokrasi
Dukungan massal dari publik sepakbola membuktikan satu hal bahwa Yuran tidak sendirian.
Spanduk #KamiBersamaYuran bukan sekedar slogan kosong. Ini bentuk pengakuan bahwa apa yang dialami Yuran adalah cerminan pengalaman kolektif masyarakat sepak bola Indonesia.
Komdis PSSI seolah lupa bahwa kritik adalah bagian dari demokrasi sepak bola.