TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- Rusli alias Daeng Ulli, eksekutor Tragedi Karunrung tahun 1995 membongkar alasannya tega menghabisi satu keluarga Ahmadi.
Hal itu disampaikan dalam Ngobrol Virtual Buka Tabir Tragedi Karunrung 95 #2: Pengakuan Pelaku yang disiarkan Youtube Tribun Timur, Jumat (23/5/2025) malam.
Kejadian ini terjadi, pada 12 Maret 1995, terjadi pembantaian satu keluarga.
Korbannya Achmadi (34) kepala keluarga, istrinya Cecilia alias Syamsiah (30), keempat anak mereka Mashita (10), Andrianto (9), Indrawan (4), dan Lizanti (3), serta seorang asisten rumah tangga (ART) bernama Piddi (12).
Dalam wawancara eksklusif, ia membeberkan sejumlah fakta mengejutkan, termasuk keberadaan pengorder eksekusi yang hingga kini tak pernah tersentuh hukum.
“Saat itu kami berpikir, kalau satu saja dari anggota keluarga itu tidak dieksekusi, pasti kami akan ketahuan,” ujar Daeng Uli mengenang momen tragis tersebut.
Ia menyebut bahwa aksi kejahatan itu dilakukan serempak dalam satu ruangan.
Ditanya soal siapa yang memerintahkan tindakan tersebut, Daeng Uli menjawab tegas.
“Dalam berita acara saya, semua sudah tertulis. Siapa pelakunya, siapa yang mengorder. Kami sudah katakan semuanya ke polisi,” ujarnya.
Menurutnya, dia dijanjikan uang Rp10 juta.
“Tapi setelah pembunuhan itu saya tak temukan orang itu. Uang tak pernah saya terima sampai sekarang. Nabilang orang Makassar dipatolo-toloki (ditipu),” katanya.
Sehingga dia pun berangkat ke Jakarta untuk menemui pengorder.
“Saya ke Jakarta, dua hari keburu ditangkap polisi,” katanya.
Setelah keluar dari penjara, ia mencari pengorder ke Jakarta.
“Saya cari-cari tapi tidak adami,” katanya.
Daeng Ulli sendiri awalnya dijatuhi hukuman seumur hidup, namun kemudian dikurangi menjadi 20 tahun atas kebijakan presiden saat itu.
Karena berkelakuan baik selama di lembaga pemasyarakatan, ia mendapatkan berbagai remisi dan hanya menjalani 15 tahun masa hukuman.
“Saya dapat semua remisi – remisi Lebaran, 17 Agustus, dan lainnya. Karena saya patuh dan tidak buat masalah di dalam,” jelasnya.
Soal bagaimana ia bisa tertangkap, Daeng Uli menyatakan bahwa polisi bekerja cepat dan teliti.
“Begitu kejadian, saya lari dari rumah. Polisi mendata siapa saja yang meninggalkan rumah di sekitar waktu kejadian. Dari situ saya teridentifikasi,” ungkapnya.
Meski ia telah menjalani hukuman dan kini bebas, pertanyaan tentang keadilan masih tersisa.
“Kami ini pelaksana lapangan, tapi yang menyuruh malah tidak disentuh,” ujarnya lirih.
Kini, setelah bebas, Daeng Uli mencoba membangun kembali kehidupannya.
Ia bahkan mendirikan organisasi masyarakat bernama Lebah Hitam dan menjadi ketua umum.
“Dulu saya tidak punya organisasi, tapi sekarang saya berusaha memberi wadah baru,” katanya.
Saat penjara, ia merasa ‘dihantui’ perasaan bersalah.
“Jadi saya merasa dihantui, dan sebisa mungkin tak lewat di rumah itu,” katanya.
Menurutnya, dia mengakui menyesal.
“Saat saya di dalam penjara, saya menyesali. Tak sebanding imbalan dan uang yang kami terima,” katanya.
7 Korban
Suasana mencekam di sebuah rumah Jalan Karunrung, Makassar saat ditemukan tujuh jasad dalam kondisi mengenaskan.
Tragedi ini menyisakan luka mendalam yang belum sembuh, bahkan setelah tiga dekade berlalu.
Pada 12 Maret 1995, terjadi pembantaian satu keluarga.
Korbannya Achmadi (34) kepala keluarga, istrinya Cecilia alias Syamsiah (30), keempat anak mereka Mashita (10), Andrianto (9), Indrawan (4), dan Lizanti (3), serta seorang asisten rumah tangga (ART) bernama Piddi (12).
Nurmi, kakak Piddi bercerita, saat ditemukan kondisi mayat mengenaskan.
Nurmi mengaku tidak melihat langsung mayat adiknya di Tempat Kejadian Perkara (TKP).
"Sudah dibawa ke rumah dalam kondisi luka parah khususnya di bagian wajah. Telinganya tidak ada. Bahkan bagian hidungnya rata. Hancur," kata Nurmi dalam Bahasa Makassar yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dalam Podcast Ngobrol Virtual bertajuk Buka Tabir Tragedi Karunrung 1995' di Studio Tribun Timur, Jl Cendrawasih, Makassar, Kamis (1/5/2025).
Sebenarnya, lanjut Nurmi, ART dikediaman Achmadi adalah saudaranya yang bernama Naneng.
Naneng sudah lama bekerja sebagai ART di kediaman Achmadi.
Naneng mendapat kabar jika ada yang mencari orang yang bisa membantu mencuci baju dan beberapa pekerjaan rumah tangga lainnya.
"Dari orang Karunrung juga (informasi kerjaan), yang pernah jadi tukang batu," ujar Nurmi.
Namun di hari kejadian, Naneng sakit sehingga kerjaannya digantikan Piddi.
Ketika Piddi tidak kunjung pulang, ibunya menyuruh Naneng mengecek ke rumah majikannya.
Pintu terkunci, Naneng mengintip lewat jendela kaca dan melihat ceceran darah.
Awalnya ia mengira itu hanya darah ayam potong, apalagi tak melihat siapa-siapa di dalam rumah.
Naneng pulang dan menyampaikan hal itu ke ibunya dan diputuskan mencari Piddi ke rumah saudara Achmadi.
Tak dapat kabar juga, Naneng melapor ke ketua RW setempat dan menceritakan apa yang ia lihat.
"Mungkin Pak RW yang hubungi polisi," ujarnya.
Saat itulah pembunuhan itu terungkap.
Tak hanya menyisakan duka, peristiwa ini juga menyisakan trauma mendalam bagi Nurmi sekeluarga.(*)