Oleh; Rusman Madjulekka
Jurnalis, Tinggal di Jakarta
TRIBUN-TIMUR.COM - “Anda kenal Dahlan?” tanya seorang kawan.
“Saya kenal banyak orang bernama Dahlan. Dahlan yang mana?” tanya saya balik.
“Itu anggota Dewan Pers baru yang sukses mendamaikan dua kubu PWI,” lanjutnya.
Dua kubu dua hari. Begitu cepat. Bahkan melebihi kereta cepat whoosh. Dilantik 14 Mei 2025 sebagai anggota Dewan Pers periode 2025-2028. Dua hari kemudian, ia berhasil “mendamaikan” dua kubu pengurus PWI yang berseteru. Antara kubu Ketua Umum PWI hasil Kongres Bandung, Hendry Ch Bangun dan kubunya Ketua Umum PWI hasil KLB Zulmansyah Sekedang.
Saya tidak membahas proses negosiasi intensif yang dilakukan sampai hasilnya membuahkan kesepakatan damai kedua kubu. Sudah banyak diberitakan di media. Tapi sosok yang berkontribusi di balik sampai proses itu terjadi.
Ia biasa dipanggil Dahlan. Nama lengkapnya Dahlan Dahi. CEO TribunNetwork (Kompas-Gramedia group), jaringan yang mengelola lebih dari 60 web news dan cetak. Di Dewan Pers ia unsur Ketua yang membidangi digital dan sustainability.
Putra kelahiran Wanci di Wakatobi, pulau di pelosok Sulawesi Tenggara. Ayahnya imam masjid di kampungnya. Dahlan menamatkan pendidikan sarjananya di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Sulawesi Selatan. Jurusan ilmu politik FISIP. Semua saudaranya juga kuliah di Unhas.
Untuk menjawab pertanyaan kawan tadi, saya coba mengingat kembali memori masa mahasiswa di kampus Unhas Makassar. Sekitar 33 tahun silam. Perkenalan pertama saat kami sama-sama sebagai mahasiswa. Saya dan Dahlan satu angkatan tahun 1990 di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP). Hanya beda jurusan. Dia jurusan ilmu politik, saya di jurusan ilmu komunikasi.
Hubungan kami semakin akrab karena posisi sekretariat himpunan mahasiswa, Himapol dan Kosmik, bersebelahan. Seingat saya di lorong gelap bawah tangga gedung perkuliahan FIS yang menghubungkan dengan gedung pimpinan fakultas dan auditorium Baruga Andi Pangerang Pettarani. Di tempat itulah kami sering ngobrol, bercengkrama, dan berdiskusi bersama dengan aktivis mahasiswa lainnya di luar jam perkuliahan.
Ketika itu, selain kuliah kebetulan saya sudah aktif di pers mahasiswa. Sebagai calon reporter di surat kabar kampus “Identitas” Unhas. Boleh dibilang pada masa itu kehidupan “Persma” tumbuh subur. Banyak bermunculan media kampus alternatif yang dikelola unit kegiatan kampus (UKM) atau komunitas mahasiswa lintas fakultas.
Suatu hari, Dahlan Dahi yang diam-diam menaruh minat terhadap jurnalistik, bertanya: “Bagaimana caranya bisa menulis dan aktif di Identitas?” Saya menyarankan magang dulu. Ia setuju dan melakukannya dari bawah.
Kesan pertama: urat takutnya nampaknya sudah putus. Sejak mahasiswa saya melihat Dahlan sangat kritis setiap mengajukan pertanyaan ke dosen. Sampai ada yang sentiment padanya dan mengancam tidak meluluskan nilai mata kuliah yang diasuhnya.
Saat aktif di surat kabar kampus “Identitas”, Dahlan pernah menulis berita yang bikin heboh. Ngeri-ngeri sedap. Bikin pusing Pak Rektor. Ia melihat banyak kejanggalan di Unhas. Salah satu seingat saya waktu itu ia “membongkar” praktik pungli yang terjadi di “Fanogis” dan “Fanoget” , dua fakultas non gelar yang diasuh Unhas di kampus lama. Dituding jadi bancakan sejumlah oknum. Tak lama kemudian, tersiar kabar kedua fakultas itu ditutup.
Dahlan memang "pemberontak" sejati. Ia akan melawan semua ketidakbenaran dan ketidakadilan yang terpapar di hadapannya. Tak peduli yang dilawannya sedang berkuasa.
Setelah dari koran kampus, Dahlan kemudian “nyemplungkan” diri secara total dengan berkarir ke media umum. Ia mulai dari nol. Ia pernah mengetik berita di ruang redaksi Harian Bina Baru di Makassar, lalu pindah ke Harian Surya di Surabaya, hingga hijrah ke Jakarta membidani Tabloid politik “Bangkit” di era reformasi. Di situlah ia banyak berinteraksi dengan sejumlah elit politik nasional.