Oleh: M. Nawir
Ketua Dewan Pengawas Koperasi Konsumen KPRM
TRIBUN-TIMUR.COM - Tulisan ini merupakan refleksi atas perjuangan kelompok, komunitas warga, serta organisasi masyarakat sipil, khususnya di kota Makassar dalam dekade terakhir.
Salah satu organisasi komunitas yang dapat dijadikan rujukan adalah KPRM- Komite Perjuangan Rakyat Miskin.
KPRM adalah organisasi warga miskin perkotaan yang dideklarasikan pada September 2002 di Kota Makassar dalam suatu kegiatan Temu Kota yang diinisiasi oleh aktivis Ornop.
Momen deklarasi KPRM dihadiri oleh beberapa kelompok dari kota Makassar, Gowa, Bulukumba, Pangkep, dan Sengkang.
Para deklarator terdiri dari tujuh perwakilan komunitas warga, yakni: KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat), PKL (Pedagang Kaki Lima), Pengemudi Becak, Kelompok Janda Maccini Sombala, dan Pemulung. Dalam momen ini pula terjadi dialog warga dengan anggota DPRD Kota Makassar, dan Pemerintah Kota.
Sejak pendeklarasiannya, KPRM menjadi wadah pendidikan dan pengentasan kemiskinan, khususnya di sekor layanan publik seperti pemenuhan hak atas pangan (sembako), kesehatan (BPJS/PKH), pendidikan (KIP/Beasiswa), identitas (Akte/KTP), dan Bansos.
Berdasarkan pengalaman ini, KPRM mencetuskan motto “Belajar, Beroganisasi, Berjuang untuk Sejahtera”.
Pada decade 2004, KPRM bersama Jaringan Rakyat Miskin Kota (Uplink Indonesia) mengadvokasi hak atas perumahan bagi warga yang terancam penggusuran seperti kampung Lette, kampung Pisang Maccini Sombala, Bontoduri, Kassi-Kassi, dan Buloa.
Kampung-kampung kota ini hanya beberapa dari sekian banyak pemukiman warga miskin yang sintas dari penggusuran.
Beberapa perkampungan lainnya mengalami penggusuran secara paksa (force eviction) akibat ketiadaan solusi dalam konflik pertanahan antara warga versus kelompok kepentingan ekonomi dan politik dominan.
Seiring dengan banyaknya sengketa pertanahan yang rumit, mengancam dan mengorbankan petani dan warga miskin perkotaan, Pemerintah RI melalui Perpres 62/2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria menata ulang kebijakan pertanahan dalam rangka mengatasi potensi dan manifestasi konflik agraria, termasuk di perkotaan.
Percepatan pelaksanaan Reforma Agraria (RA) dilaksanakan melalui strategi: (1) Legalisasi aset; (2) Redistribusi tanah; (3) Pemberdayaan ekonomi Subjek RA; (4) Kelembagaan RA; dan 5) Partisipasi masyarakat.
Kelima strategi ini menjadi rujukan instruksional bagi Pemda/Pemkot untuk memasukkan program RA dalam perencanaan pembangunan daerah dan mengalokasikan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).
Konsekuensinya, capaian pelaksanaan RA merupakan indikator kinerja Pemda sebagaimana bunyi Pasal 3 ayat (2): “Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri menetapkan pelaksanaan RA di daerah sebagai salah satu indikator penilaian kinerja Pemda.”
Penulis memaknai refleksi atas KPRM adalah perjuangan warga menuntut hak-hak konstitusional atas kota, yang merupakan tanggung jawab pemerintah untuk mewujudkannya.
Hak atas kota (right of the city) sebagaimana dimaksud para ahli adalah Hak Asasi Manusia dalam kepemilikan pribadi maupun kolektif.
Secara konstitusional atas kota sangat jelas dijabarkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yakni atas informasi yang transparan, hak atas kecukupan pangan, hak atas pendidikan yang terjangkau, hak atas layanan kesehatan berkualitas, hak atas perumahan layak huni, dan tentu saja kepastian hukum atas tanah tempat tinggal dan berusaha.
Persoalannya, seringkali aspirasi warga kota terabaikan, dan secara sepihak pemerintah lebih mengedepankan aspirasi kelompok kepentingan dominan seperti pengembang, mafia tanah, termasuk kebijakan pembangunan untuk kepentingan umum.
Padahal sejarah kota Makassar adalah sejarah pembentukan ruang hidup bersama warga setempat, pendatang, dan tentunya pemerintah kota.
Tidak mungkin kota ini dibangun hanya oleh pengembang atau pun pemerintah. Kota Makassar adalah produk warga Makassar dari manapun asalnya (common space) sejak zaman kolonial hingga era globalisasi.
Tidak cukup dengan kebijakan afirmatif pemerintah kota dalam memberikan layanan dan memenuhi kebutuhan dasar warga.
Ada hak fundamental karena itu bersifat universal yang harus dipenuhi pemerintah, yakni kesetaraan hak dalam perencanaan pembanguna kota.
Partisipasi warga dalam Musrenbang hanya satu mekanisme. Namun, partisipasi yang sesungguhnya adalah pelibatan warga dalam pembangunan berdasarkan pengalaman hidup mereka sehari-hari agar tepat sasaran, berdaya dan berhasil guna.
Agar hasil pembangunan tidak mubasir, pemerintah sudah seharusnya melembagakan “apa maunya warga”, “bagaimana cara memenuhinya”, dan “bagaimana mengatasi keterbatasan yang ada” dalam kebijakan efisiensi belakangan ini.
Pengalaman dua puluh tiga tahun KPRM memberikan pemahaman: pertama, mereka merepresentasi pandangan dunia, cara hidup, dan kelembagaan warga sehari-hari hasil dari dinamika sosial, politik, dan sejarah kota.
Budaya urban warga miskin perkotaan adalah hasil dari perjuangan mereka untuk bertahan (adaptasi, resistensi, kompromi) dalam kondisi yang sulit.
Kedua, sebagai komunitas budaya, mereka memproduksi pengetahuan tentang bagaimana berbagi lahan (land-sharing) dan menata pemukiman (kampung upgrading) sebagai solusi keterbatasan ruang.
Ketiga, mereka terorganisasi dalam kegiatan arisan, tabungan, gade-gade, warung kopi, koperasi, urban farming, dan berbagai hiburan maupun seni kampungan.
Keempat, mereka adalah orang-orang kosmopolitan, dan menjadi bagian penting dari gerakan masyarakat sipil dan masyarakat politik sehingga kota Makassar.
Dalam skala tertentu, mereka berkontribusi membangun Makassar “kota kuliner enak”, “kota inklusif”, dan “kota dunia”.
Kelima, tidak cukup dengan pelayanan, pemerintah kota harus menjamin kepastian dan keamanan bermukim karena hal ini merupakan prasarat bagi warga untuk hidup layak dan produktif bagi masa depan keluarga, anak-anak dan cucu mereka.