Opini Tribun Timur

Cinta yang Hilang: Bahasa Diam Dalam Hubungan Digital

Editor: Saldy Irawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Rismayanti, S.S., M.Hum., Dosen FIB Unhas

Rismayanti, S.S., M.Hum.
Dosen FIB Unhas

 

TRIBUN-TIMUR.COM Pernah tiba-tiba ditinggal tanpa kabar oleh seseorang yang kamu kira peduli?

Kalian sering chatting, berbagi cerita, tertawa bersama. Tiba-tiba, suatu hari, ia menghilang begitu saja.

Tak ada pesan, tak ada penjelasan. Atau, chatting-mu tiba-tiba cuma di-read atau seen saja? Itulah yang disebut ghosting.

Di zaman sekarang, ghosting bukan hal asing.

Tapi tahukah kamu, diam yang menyakitkan itu sebenarnya juga punya “bahasa”? Yup, dalam dunia psikolinguistik, diam pun bisa berbicara. Inilah yang disebut dengan psikolinguistik diam.

Dalam ilmu psikolinguistik, diam itu bukan kosong.

Diam bisa berarti banyak hal: menolak, menghindar, marah, atau bahkan merasa tak mampu lagi berkata apa-apa. Ketika seseorang memutus komunikasi, sebenarnya ia juga mengirim pesan—hanya saja tanpa kata-kata.

Masalahnya, otak kita terbiasa dengan komunikasi yang mengiringi hari-hari kita, baik secara verbal maupun melalui teks. Kita benci ketidakjelasan. Ketidakjelasan tidak mengenal gender, namun perempuan cenderung lebih komunikatif dan lebih sering meminta kejelasan.

Studi menunjukkan bahwa perempuan lebih sering menggunakan bahasa yang konkret dan spesifik, terutama saat berkomunikasi dengan orang yang secara psikologis dekat dengannya.

 Sebaliknya, laki-laki cenderung menggunakan bahasa yang lebih abstrak. Perbedaan ini mencerminkan kecenderungan perempuan untuk mencari kejelasan dan koneksi emosional dalam komunikasi, sedangkan laki-laki lebih fokus pada penyampaian informasi secara umum.

Sebenarnya, laki-laki juga membutuhkan validasi emosional, baik melalui verbal maupun teks, terutama jika ada keterikatan emosional. Meski secara budaya laki-laki sering diajarkan untuk mencari dan mengejar,” banyak dari mereka sebenarnya merasa cemas saat tidak tahu apa yang sedang terjadi—termasuk ketika pasangan mendadak diam atau menjauh.

Tapi terkadang tak khayal di era sekarang, pria cenderung melakukan ghosting. Ini hasil wawancara saya kepada mahasiswa, pada obrolan santai. 

Diam dapat memicu respons emosional yang sama pada laki-laki maupun perempuan. Psikolinguistik menunjukkan bahwa keheningan dalam komunikasi bisa menjadi stimulus yang sangat kuat, terlepas dari gender.

Ketika seseorang dicueki, otaknya tetap aktif mencoba “menerjemahkan” diam itu “kira-kira dia kenapa yah?”. Laki-laki juga tidak kebal dari overthinking atau spekulasi emosional sama dengan perempuan.

Jadi, walau perempuan mungkin lebih sering menuntut kejelasan secara eksplisit, laki-laki juga bisa merasa sangat terguncang saat komunikasi terputus tanpa penjelasan.

Perbedaannya bukan terletak pada seberapa dalam perasaan itu. Tapi rasa tiba-tiba ditinggalkan, apalagi bagi yang sudah menjalin hubungan sudah lama.

Penelitian juga menunjukkan bahwa perempuan lebih aktif dalam menjaga komunikasi dengan pasangannya.

Sebuah studi yang menganalisis data panggilan dan pesan teks dari tiga juta orang menemukan bahwa perempuan lebih sering menghubungi pasangannya dibandingkan laki-laki.

Hal ini menunjukkan bahwa perempuan lebih berinisiatif dalam menjaga kejelasan dan kesinambungan komunikasi dalam hubungan.

Saat pesan tak dibalas, otak langsung aktif mencari makna. Kita membaca ulang chat terakhir, memperhatikan emotikon, mengira-ngira maksudnya, dan membayangkan nada bicaranya. Inilah yang disebut internal speech—monolog batin yang muncul karena tidak adanya respons dari luar.

Apa yang terjadi di dalam otak ketika mengalami ghosting?

Ternyata ghosting bisa menyebabkan stres secara kognitif. Otak merasa ada yang belum selesai, seperti notifikasi yang belum dibaca. Kita jadi overthinking, sulit fokus dalam aktivitas, bahkan mulai menyalahkan diri sendiri. Bagi yang punya kecenderungan cemas (anxious attachment), ini bisa lebih parah. Karena itu, ghosting bukan cuma soal cinta yang gagal, tapi juga soal luka batin yang sulit dijelaskan—karena tidak ada kata yang diucapkan.

Bayangkan diam itu seperti read tanpa reply. Bukankah itu bentuk komunikasi juga? Tapi karena tidak eksplisit, kita jadi bebas mengartikan sesuka hati. Dan di situlah letak bahayanya.

Kita bisa salah paham, menyiksa diri sendiri, atau bahkan kehilangan kepercayaan pada orang lain.

Ghosting seolah berkata, “Saya tidak ingin menjelaskan apa pun, dan kamu tidak penting bagi saya.” Kejam? Mungkin begitu di pikiran kita. Tapi itulah realitas komunikasi digital zaman ini.

Kalau kamu pernah atau sedang di-ghosting, kamu bukan satu-satunya dan itu bukan salahmu. Diam orang lain bukan selalu karena salahmu, mungkin karena ingin sendiri dan tidak ingin diganggu. 

Apa yang bisa kamu lakukan?

Jangan menyalahkan diri. Tahan diri untuk tidak mengarang cerita di kepala. Fokuslah pada diri sendiri dan mengembangan skill, tidak dengan mencari orang baru.

Analisis apakah kesalahan datang dari diri sendiri atau memang orang lain. Sadari bahwa tidak semua hubungan layak kamu kejar. Dan tidak semua hubungan berhasil, terkadang kita bertemu orang hanya untuk belajar bahwa ternyata ada yang disebut psikolinguistik diam.

Di tengah dunia yang serba cepat ini, dengan pelbagai media sosial. Menghilang memang mudah. Tapi bukan berarti itu tindakan yang benar, tapi itu kembali ke hak individu.

Mari mulai membiasakan komunikasi yang jujur, terbuka, dan empatik. Karena diam mungkin terasa mudah bagi yang pergi, cieh mungkin seperti lirik lagu dari Sheila On 7 ya? “Mudah saja bagimu, mudah saja untukmu, andai saja cintamu seperti cintaku”. Ya, ini bisa sangat berat bagi yang ditinggalkan. 

Ghosting memang tak bersuara, tapi luka yang ditinggalkannya bisa bergaung lama di hati. Maka, sebelum memutuskan untuk diam, pikirkanlah makna di baliknya. Sebab dalam cinta, yang tak terucap pun bisa melukai.

Sebuah survei yang dilakukan oleh YouGov pada tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 55 persen responden dari Generasi Z (usia 18–26 tahun) mengaku pernah mengalami ghosting dalam hubungan romantis, dan hampir 48 persen di antaranya merasa cemas berlebihan serta mengalami overthinking akibat tidak mendapatkan penjelasan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa keheningan atau diam dalam komunikasi digital bukan hanya membuat hubungan berakhir secara sepihak, tetapi juga menciptakan tekanan mental yang cukup besar. 

Di sini kita belajar bahwa kecenderungan gen z memilih diam.

Dalam sebuah studi yang dipublikasikan oleh Journal of Social and Personal Relationships (2021), ditemukan bahwa sekitar 25 persen orang dewasa usia 30 hingga 50 tahun juga pernah mengalami ghosting dalam hubungan.

Meski lebih jarang dibandingkan Generasi Z, dampaknya justru lebih emosional dari 60 % responden dewasa merasa kehilangan harga diri dan mengalami kesulitan mempercayai pasangan di hubungan berikutnya. Ini menunjukkan bahwa ghosting bukan hanya masalah generasi muda, tetapi juga memengaruhi kedewasaan emosional dan cara individu dewasa memaknai keheningan sebagai sinyal dalam komunikasi interpersonal.

Psikolinguistik diam ini juga relevan dalam hubungan selain asmara. Karena itu, penting untuk membangun komunikasi yang efektif dan positif dalam berbagai relasi.

Bila orang lain memilih untuk diam atau menghilang, itu bukan masalah yang harus kamu tanggung sendiri. Bangkitlah, jangan menyalahkan diri sendiri. Mencoba untuk bersikap dewasa dengan selalu memaafkan. 

Bangun kembali kepercayaan terhadap komunikasi dengan orang lain, dan terutama dengan dirimu sendiri. Jauhi hubungan yang toksik, merawat diri penuh kasih.(*)

Berita Terkini