Tak banyak pikir, mereka pun disebut sepakat. Arif Nuryanta menyetujui permintaan Aryanto.
Namun, ia meminta uang suap dinaikkan tiga kali lipat jadi Rp60 miliar.
Setelah menerima uang setara Rp60 miliar, Arif diduga menunjuk majelis hakim yang akan menangani perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah itu.
Hakim yang ditunjuk adalah Djuyamto selaku ketua majelis, Ali selaku hakim ad hoc, dan Agam selaku hakim anggota.
Sementara Wahyu disebut kebagian 50.000 dolar AS sebagai penghubung.
”Jadi, Wahyu Gunawan pun dapat bagian setelah adanya penyerahan uang tersebut,” ujar Qohar.
Setelah penetapan sidang terbit, Arif disebut memanggil Djuyamto dan Agam kemudian memberikan sejumlah uang yang nilainya setara dengan Rp4,5 miliar.
Arif disebut mengatakan, uang itu merupakan uang baca berkas perkara dan meminta agar perkara tersebut diatensi.
Uang senilai Rp4,5 miliar itu kemudian disebut dimasukkan ke dalam goodie bag yang telah disiapkan Agam. Uang itu lalu dibagikan kepada tiga hakim yang menangani perkara itu.
Qohar mengatakan sekitar September atau Oktober 2024, Arif kembali memberikan uang dalam pecahan dolar AS kepada Djuyamto senilai Rp 18 miliar.
Oleh Djuyamto, uang itu dibagikan kepada Ali dan Agam di depan Bank BRI Pasar Baru Jakarta Selatan.
Rinciannya, Agam menerima setara Rp4,5 miliar, Ali senilai Rp5 miliar, dan Djuyamto setara Rp6 miliar. Dari uang bagian Djuyamto tersebut, sebanyak Rp300 juta diduga diberikan kepada panitera.
”Sehingga, total seluruhnya yang diterima (ketiga hakim) adalah sekitar Rp22 miliar. Ketiga hakim tersebut mengetahui tujuan dari penerimaan uang tersebut agar perkara tersebut diputus onslag dan pada tanggal 19 Maret 2025 perkara tersebut diputus onslag,” tutur Qohar.
Lalu ke mana sisa uangnya?
"Inilah yang masih kami kembangkan. Apakah sisanya masih ada yang dibagi kepada orang lain ataukah seluruhnya dikuasai atau dalam penguasaan yang bersangkutan, yaitu tersangka Muhammad Arif Nuryanta,” ujar Qohar.