Ia menilai bahwa proses kebudayaan seperti ini bisa saja berawal dari fenomena ikut-ikutan.
Hingga akhirnya menjadi bagian dari budaya yang diterima dan dilestarikan.
Yang lebih menarik, menurut Wahyudin, adalah melihat transformasi visual para jamaah haji, khususnya sebelum dan sesudah berangkat ke Tanah Suci.
“Sebelum berangkat, semua mengenakan batik Nusantara, tapi saat pulang, busananya berubah menjadi ala Eropa atau India. Di internet banyak foto-foto jamaah haji mengenakan pakaian panjang selonjor, mirip busana pengantin Eropa," ungkapnya.
Ia juga mengungkapkan adanya fenomena unik di kalangan jamaah haji asal Jeneponto.
Setiap kali ada calon jamaah haji yang akan berangkat, satu kampung turun tangan untuk mengantarkan mereka.
Bahkan itu diyakini bahwa jika seseorang telah tujuh kali mengantar jamaah haji, maka akan tiba giliran keberangkatan dirinya sendiri.
“Makanya, suasana mengantar haji di Jeneponto sangat heboh. Satu kampung bisa mengiringi jamaah," kata Prof Wahyudin.
Bahkan, lanjutnya, ekonomi sekitar rumah haji ikut diuntungkan karena ada warung, penginapan untuk para pengantar.
Ia mendorong perlunya riset mendalam terhadap tradisi-tradisi seperti ini yang memiliki kekayaan budaya serupa.
Menurutnya, budaya Mappatoppo’ tidak berdiri sendiri, tetapi berkelindan dengan semangat religius, kebanggaan sosial, dan realitas ekonomi masyarakat.
Dialog Budaya ini ditutup dengan buka puasa bersama.(*)