Pilkada 2024

Tim Gardu GUSDURian Ungkap Temuan Hoaks dan Ujaran Kebencian Selama Pilkada 2024 

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tim Gardu GUSDURian mengungkap temuan hoaks dan ujaran kebencian di media sosial selama Pilkada 2024. Jawa Timur paling banyak, Sulsel lebih kondusif.

TRIBUN-TIMUR.COM - Tim Nasional Gardu Pemilu Gusdurian, Suaib Prawono, memaparkan hasil temuan hoaks dan ujaran kebencian di media sosial selama Pilkada 2024. 

Hasil pemantauan tersebut dipaparkan dalam acara Haul Gusdur ke-15 yang digelar di Bujay Cafe, Jalan Lanto, Bantaeng, Selasa, 7 Januari 2024.

Di hadapan komisioner KPU dan Bawaslu Kabupaten Bantaeng, Suaib menyampaikan bahwa pemantauan ini dilakukan selama satu bulan, mulai dari 25 September hingga 23 November 2024, di tiga wilayah: Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.

“Pemantauan ini bertujuan untuk mengetahui tren kebencian yang terjadi di dunia maya sebagai bahan advokasi kebijakan dan upaya memoderasi konten,” ujar Suaib saat menyampaikan materi di acara haul.

Sejauh temuan tim Gardu, total ada 101 konten negatif terkait Pilkada yang tersebar di tiga wilayah. 

Temuan tersebut terdiri dari 41 kasus hoaks dan 60 kasus ujaran kebencian. 

Temuan kasus paling banyak ada di Jawa Timur, kemudian disusul Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.

“Sedangkan temuan konten negatif terbanyak adalah hoaks berupa disinformasi, lalu disusul komentar bernada kebencian berupa provokasi, hinaan, dan rasisme,” katanya lagi.

Jika merujuk pada data temuan tim Gardu, Jawa Timur menjadi wilayah paling "ramai" terkait konten-konten Pilkada tahun ini dibandingkan dua wilayah lainnya. 

Di wilayah ini, konten negatif yang paling dominan adalah penyebaran hoaks berupa disinformasi. 

Tim Gardu menemukan konten "tuduhan komunis" dan "tuduhan korupsi" pada kandidat tertentu menjadi dua disinformasi yang paling banyak disebarkan.

Selain itu, konten bernada kebencian berupa hinaan pada kandidat tertentu dan provokasi untuk mempengaruhi opini publik juga beredar cukup banyak. 

Kata-kata seperti "bodoh", "goblok", hingga "pelacur" juga jelas ditemukan di beberapa postingan. 

Sebaliknya, konten bernada kebencian yang paling sedikit ditemukan di Jawa Timur adalah misoginis. 

Pola provokasi dan disinformasi ini mencerminkan tingginya dinamika politik yang berpotensi memicu polarisasi masyarakat.

“Kami hanya menemukan 1 konten misoginis dari 57 temuan yang ada. Angka ini sangat minim jika dibandingkan dengan temuan 6 konten misoginis di Kalimantan Selatan dari total hanya 34 temuan,” jelas Suaib.

Hal ini bisa jadi disebabkan oleh beberapa faktor.

Diantaranya semua kandidat Pilgub Jawa Timur adalah perempuan dan perdebatan paling sering ditemukan dalam konteks Pilbup atau Pilwalkot adalah terkait ketokohan (agama) atau afiliasi kandidat pada tokoh agama tertentu.

Di Kalimantan Selatan, tren negatif yang paling banyak ditemukan di media sosial adalah konten disinformasi. 

Beberapa isu diangkat dalam hoaks ini adalah terkait persoalan bisnis seperti tambang, diskotik, tarif parkir, hingga korupsi. 

Selain itu, konten misoginis juga cukup banyak menghiasi timeline media sosial wilayah ini selama menjelang Pilkada. 

Narasi paling sering ditemukan adalah larangan memilih pemimpin perempuan dalam agama dan nuansa merendahkan perempuan karena menjadi pemimpin.

Sementara itu, Sulawesi Selatan menjadi wilayah yang paling "sepi" temuan hoaks dan kebencian di media sosial selama Pilkada. 

Hanya ada sepuluh temuan, dengan urutan terbanyak adalah konten provokasi, kemudian disusul rasisme, mal informasi, dan merendahkan.

Meski hanya berjumlah tiga temuan, namun jika dilihat dari rasio keseluruhan di tiga wilayah tersebut, konten rasis di Sulawesi Selatan bisa dikatakan cukup besar. 

Konten-konten rasis yang ditemukan seringkali berupa sikap antipati terhadap identitas kandidat berbeda dan dianggap berasal dari daerah lain alias "bukan putra daerah".

“Kami tidak menemukan konten disinformasi di wilayah Sulawesi Selatan. Terkait penyebaran informasi yang menyesatkan ini, tren menunjukkan bahwa Sulawesi Selatan jauh lebih kondusif dibandingkan daerah lain, terutama Jawa Timur,” jelas Suaib Prawono yang juga Korwil GUSDURian Sulampapua.

Lebih lanjut, pria kelahiran Polewali Mandar ini mengatakan, secara keseluruhan, temuan Tim Gardu GUSDURian menunjukkan bahwa dinamika konten negatif di media sosial selama Pilkada 2024 sangat dipengaruhi oleh karakteristik sosial, budaya, dan politik di masing-masing wilayah. 

Jawa Timur mencatatkan angka tertinggi dengan dominasi disinformasi dan provokasi, yang mengindikasikan tingginya intensitas persaingan politik di wilayah ini. 

Sementara itu, Kalimantan Selatan menonjol dengan isu misoginis, mencerminkan tantangan terkait kesetaraan gender di wilayah tersebut.

“Sulawesi Selatan, meskipun lebih sepi temuan, tetap menunjukkan potensi isu sensitif seperti rasisme. Temuan ini penting untuk menjadi bahan advokasi kebijakan, mendorong edukasi literasi digital, serta peningkatan moderasi konten media sosial agar proses demokrasi dapat berjalan dengan lebih baik,” katanya.

Usai menyampaikan materi, Suaib Prawono langsung menyerahkan dokumen hasil pemantauan tersebut secara simbolis ke Bawaslu dan KPU Kabupaten Bantaeng. 

Tampak hadir dalam kegiatan ini tokoh masyarakat, pemuka lintas agama, dan ketua-ketua OKP seperti PMII, KNPI, Ansor, Banser, HMI, dan Jemaat Ahmadiyah. (*)



 



 

 

 

Berita Terkini