Forum Dosen Tribun Timur

Selangkah Lagi Pemerintah di Jalan Buntu, Amir Muhiddin Menakar Gerakan Masyarakat

Penulis: Faqih Imtiyaaz
Editor: Hasriyani Latif
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dosen FISIP Unismuh Makassar Amin Muhiddin dalam Diskusi Forum Dosen di Redaksi Tribun Timur, Jl Cendrawasih, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (22/8/2024).

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Masyarakat berada di garda terdepan mengawal tumpang tindih kebijakan.

Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi (MK) hingga DPR RI memiliki jalan masing masing-masing. 

MK melalui dua putusan mengikat bahwa parpol diluar parlemen bisa mengusung calon pemimpin di pilkada.

Kemudian menegaskan bahwa batas usia minimum calon kepala daerah.

Batas usia ini dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Putusan ini pun menggugurkan tafsir putusan Mahkamah Agung sebelumnya.

MA menyebut bahwa batas usia itu dihitung sejak pasangan calon terpilih dilantik.

Baleg DPR RI merespon cepat putusan MK dengan melanjutkan RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada.

Dua materi krusial RUU Pilkada disepakati dalam Rapat Panja RUU Pilkada itu.

Pertama pada pasal 7 UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan sesuai dengan putusan Mahkamah Agung.

Kemudian perubahan Pasal 40 dengan mengakomodasi sebagian putusan MK yang mengubah ketentuan ambang batas pencalonan pilkada.

Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Amir Muhiddin mengaku gerakan masyarakat akan tumpah ruah. 

Namun menjadi kebimbangan jika tumpang tindih ini mengalami kebuntuan.

"Seandainya dalam beberapa hari kedepan deadlock tersebut tidak ada kepastian merunut keputusan MK atau tidak. Apa gerakan civil society lakukan? Apa harus bersabar melalui jalur formal atau turun ke jalan menggaungkan moral force menekan pemerintah dan legislatif merunut pada putusan MK," kata Amir Muhiddin.

Ia lantas mbandingkan sistem pemerintahan di Indonesia dengan Thailand.

Halaman
12

Berita Terkini