Opini

Anak Marjinal: Korban Sistem atau Kurangnya Keseriusan?

Editor: Sudirman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Jose Segitya Hutabarat, Pengajar di Sekolah Ciputra Kasih Makassar

Jose Segitya Hutabarat

Pengajar di Sekolah Ciputra Kasih Makassar

Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak, terlepas dari latar belakang sosial-ekonominya.

Pendidikan adalah kunci untuk keluar dari kemiskinan dan meraih masa depan yang lebih baik.

Sayangnya, seperti yang diungkapkan dalam tajuk rencana Kompas pada tanggal 30 Juli 2024, berjudul “Prioritaskan Pendidikan Anak Marjinal.

Masih banyak anak-anak dari keluarga miskin yang terpaksa putus sekolah karena berbagai alasan, termasuk kebutuhan untuk bekerja membantu ekonomi keluarga.

Lebih dari Sekadar Bantuan Keuangan

Memberikan bantuan keuangan melalui program seperti Program Indonesia Pintar (PIP) adalah langkah awal yang baik.

Namun, untuk mengatasi masalah pendidikan anak marjinal secara komprehensif, diperlukan pendekatan yang lebih holistik.

Bantuan keuangan semata tidak akan mampu mengatasi akar permasalahan seperti kurangnya kesadaran orang tua tentang pentingnya pendidikan, stigma sosial terhadap anak-anak yang bekerja, dan kurangnya fasilitas pendidikan yang berkualitas di daerah-daerah terpencil.

Masalah utama adalah bahwa pendekatan bantuan pendidikan yang seragam gagal mempertimbangkan tantangan unik yang dihadapi oleh anak-anak terpinggirkan.

Oleh karena itu, program perlu disesuaikan untuk mengatasi keadaan khusus anak-anak ini, memastikan mereka menerima dukungan yang diperlukan untuk mengatasi hambatan pendidikan.

Korban Ketimpangan Sistemik

Anak-anak marjinal seringkali menjadi korban ketimpangan sistemik yang lebih luas.

Mereka tidak hanya menghadapi tantangan ekonomi, tetapi juga diskriminasi sosial dan budaya.

Mobilitas penduduk yang tinggi, terutama di perkotaan, membuat banyak anak-anak kehilangan akses terhadap layanan pendidikan yang memadai. Mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang sulit untuk diputus.

Untuk mengatasi masalah ini, solusi inovatif seperti sekolah keliling atau jam sekolah yang fleksibel dapat mengakomodasi anak-anak yang harus bekerja.

Solusi ini memungkinkan mereka untuk mendapatkan pendidikan tanpa mengorbankan kontribusi ekonomi mereka terhadap keluarga.

Selain itu, sistem pendukung berbasis masyarakat dapat menyediakan sumber daya dan bimbingan tambahan, membantu anak-anak ini tetap terlibat dengan pendidikan mereka.

Rekomendasi Kebijakan

Untuk mengatasi permasalahan pendidikan anak marjinal, diperlukan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan.

Langkah pertama adalah membangun sistem data terpadu yang akurat untuk mengidentifikasi anak-anak yang membutuhkan bantuan.

Dengan data yang komprehensif, bantuan keuangan dapat ditargetkan secara tepat dan berbasis kinerja.

Selain itu, aksesibilitas pendidikan perlu ditingkatkan melalui pembangunan sekolah di daerah terpencil, penyediaan sarana belajar yang memadai, dan beasiswa.

Kualitas pendidikan juga harus ditingkatkan melalui pelatihan guru dan pengembangan kurikulum yang relevan.

Kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk masyarakat, sangat penting untuk mendorong partisipasi aktif dalam pendidikan anak ini akan menjadi kunci keberhasilan program ini.

Pendampingan melalui program mentoring dan konseling serta perlindungan anak dari kekerasan dan eksploitasi harus menjadi prioritas.

Pemberdayaan orang tua juga sangat penting, karena orang tua merupakan pilar utama dalam pendidikan anak.

Program pemberdayaan orang tua dapat meningkatkan kesadaran mereka akan pentingnya pendidikan.

Fleksibilitas dalam sistem pendidikan serta pelatihan kejuruan dan kesempatan belajar sepanjang hayat juga perlu diperhatikan untuk mengakomodasi kebutuhan anak-anak yang beragam guna meningkatkan keterampilan dan membuka peluang kerja bagi mereka.

Evaluasi berkala terhadap program-program yang telah berjalan sangat penting untuk memastikan efektivitas dan keberlanjutan upaya peningkatan kualitas pendidikan bagi anak-anak marjinal.

Studi Kasus dan Praktik Terbaik

Melihat contoh-contoh internasional, program Bolsa Familia Brasil memberikan model transfer tunai bersyarat yang sukses terkait dengan kehadiran di sekolah.

Demikian pula, Skema Makan Siang di India, yang menyediakan makan siang gratis untuk anak-anak sekolah, telah meningkatkan kehadiran dan status gizi anak-anak miskin secara signifikan.

Di Indonesia, proyek percontohan seperti Rumah Belajar, yang menawarkan pendidikan gratis dan pelatihan keterampilan bagi anak-anak jalanan di Jakarta, memberikan wawasan berharga tentang intervensi yang efektif.

Memperluas inisiatif semacam itu di seluruh negeri dapat menghasilkan manfaat besar bagi anak-anak terpinggirkan.

Kesimpulan

Pendidikan adalah hak dasar setiap anak. Namun, bagi anak-anak marjinal, hak ini seringkali sulit untuk diwujudkan.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan komitmen yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan.

Dengan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan, kita dapat memastikan bahwa setiap anak Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk meraih cita-citanya.(*)

Berita Terkini