*Pertamina Tinggal Tunggu Regulasi Pemerintah
TRIBUN-TIMUR.COM, JAKARTA - Sejumlah Menteri pada Kabinet Indonesia Maju memberikan sinyal bahwa pembatasan distribusi atau penjualan bahan bakar minyak atau BBM subsidi bakal dibatasi dalam waktu dekat.
Beredar kabar, hal ini akan terjadi pada bulan depan tepatnya pada 17 Agustus 2024.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengungkapkan, hal ini masih wacana, dan perlu ada kesepakatan dengan sejumlah Kementerian terkait."Kami di BUMN Kementerian korporasi bukan kebijakan.
Jadi diskusi antara kementerian mengenai BBM ini masih berlangsung," papar Erick di DPR kemarin.
"Memang ada Peraturan Presiden nomor 191 yang ingin BBM tepat sasaran dan ini sudah digodok hampir setahun lebih. Seyogyanya (tujuannya) masyarakat yang mampu tak boleh gunakan BBM subsidi, seperti juga listrik. Proses berlangsung kita tunggu saja," sambungnya.
Erick mengungkapkan, diksi yang paling tepat terkait distribusi BBM subsidi adalah agar tepat sasaran penggunaannya bukan dibatasi.
Baca juga: Cek Fakta: Erick Thohir Pecat Pelatih Timnas Indonesia Shin Tae Yong
Secara tidak langsung, Erick mengungkapkan bahwa BBM subsidi kini belum sesuai peruntukannya.
Padahal, anggaran subsidi energi dapat dialihkan untuk keperluan lain, seperti perbaikan gizi ibu dan anak.
"Bayangkan ini kalau subsidi ke depan dialihkan untuk perbaikan kesehatan ibu dan anak, pendidikan lain-lain. Jangan sampai kita bangun infrastruktur tapi manusia Indonesia tidak dibangun," papar Erick.
"Akhirnya ke depan kita tertinggal dengan bangsa-bangsa lain. Apalagi kemarin ada pengumuman katanya IQ nya rendah. Waduh pusing kita," pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengisyaratkan pemerintah akan mulai pengetatan pembelian bahan bakar minyak bersubsidi mulai 17 Agustus 2024.
Luhut menyampaikan, pembatasan dilakukan agar penyaluran BBM subsidi lebih tepat sasaran.
Sehingga, lanjut dia, pemerintah bisa melakukan penghematan anggaran. Saat ini, ucap Luhut, PT Pertamina (Persero) tengah menyiapkan regulasi soal pembatasan tersebut.
"Kita berharap 17 Agustus ini kita sudah bisa mulai, di mana orang yang tidak berhak dapat subsidi itu akan bisa kita kurangi," ucap Luhut dalam video, dikutip Rabu (10/7) lalu.
Luhut mengutarakan itu, saat membahas pengunaan BBM sehubungan dengan defisit APBN 2024.
Menurut Luhut, dengan pembatasan tersebut, pemerintah dapat melakukan penghematan dalam APBN 2024.
Selain pembatasan BBM subsidi, pemerintah juga mendorong pengembangan bioetanol sebagai bahan bakar pengganti BBM yang berbasis fosil.
Respon Pertamina
Pertamina Patra Niaga menunggu regulasi pemerintah soal pembatasan pembelian subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) per 17 Agustus 2024. Manager Corporate Communication Pertamina Patra Niaga, Heppy Wulansari, mengatakan, Pertamina Patra Niaga akan mengikuti regulasi atau peraturan yang ditetapkan Pemerintah. Secara paralel upaya-upaya subsidi tepat juga terus dilakukan.
"Seperti pendataan pengguna BBM subsidi Biosolar dan Pertalite melalui QR code dan pendataan pengguna LPG 3 kg dengan pendaftaran menggunakan KTP," ujar Heppy. Hingga saat ini, menurut data Pertamina Patra Niaga, pendaftaran QR code untuk biosolar telah tercapai 100 persen dengan jumlah nopol lebih dari 4,6 juta pendaftar.
"Pertalite telah mencapai lebih dari 4,6 juta pendaftar dan masih terus kami dorong. Untuk LPG 3 kg pendataan mencapai 45,3 juta NIK," terangnya.
Selain itu, ucap Heppy, koordinasi dengan aparat penegak hukum juga terus dilakukan untuk membantu pengawasan distribusi BBM subsidi dan LPG subsidi di lapangan.
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto meminta Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan tidak asal bicara mengenai kebijakan yang bukan wewenangnya. Menurut Mulyanto, pernyataan Luhut akan membingungkan masyarakat yang sedang berupaya bangkit dari keadaan yang sulit.
Ia juga mempertanyakan kebenaran pernyataan yang dilontarkan Luhut karena sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan pembatasan distribusi BBM bersubsidi akan dijalankan pada tahun 2025.
Pembatasan distribusi BBM subsidi pada 2025 itu tercantum dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal tahun 2025. Maka, Mulyanto menilai ucapan Luhut sekedar pemanasan isu dan tidak serius.
"Wacana ini kan sudah lama berkembang karena diketahui terjadi ketidaktepatsasaran yang memicu ketidakadilan dalam distribusi BBM bersubsidi, di mana orang kaya atau mobil mewah kedapatan masih banyak yang menggunakan BBM bersubsidi," kata Mulyanto.
"Padahal BBM bersubsidi ini kan ditujukan untuk masyarakat miskin dan rentan. Nyatanya Pemerintah mengambil sikap pembiaran," lanjutnya.
Sementara itu, Mulyanto menilai Pertamina proaktif dengan aplikasi MyPertamina yang melakukan pembatasan penjualan BBM bersubsidi di lapangan. "Padahal ini kan aksi korporasi yang tidak ada dasar hukumnya," ujarnya.
Mulyanto pun mencontohkan ketidaktepatan sasaran dalam pendistribusian BBM bersubsidi yang masih terjadi. Ia mengatakan, kendaraan tambang, industri, dan perkebunan yang semestinya tidak menggunakan BBM subsidi, ternyata di lapangan masih menggunakannya.
"Jadi, perintah wajib menertibkan soal distribusi BBM ini dengan merevisi Perpres terkait agar semakin berkeadilan," pungkasnya.
Sinyal Kenaikan
Ekonom Senior INDEF Faisal Basri menyatakan, kebijakan pemerintah dalam membatasi pembelian subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) pada Agustus nanti, menandakan bahwa sinyal harga minyak akan mengalami kenaikan. "Ya kan artinya pemerintah enggak mampu lagi menahan subsidi tidak dinaikkan. Ini naik terus (harga minyak mentah)," kata Faisal Basri.
"Pemerintah enggak sanggup lagi. Artinya sinyal kemungkinan besar pemerintah akan menaikkan harga BBM yang selama ini di subsidi yaitu Pertalite dan Solar," imbuh dia.
Menurut Faisal, langkah pembatasan pembelian BBM ini juga menandakan bahwa dana kompensasi pemerintah sudah meluap atau bahkan tidak sanggup membayar ke PT Pertamina."Sebelum naik kan antrean panjang dulu. Kan sudah enggak kuat lagi. Dan dana kompensasinya gelembung. Terpaksa ya 'Pertamina sorry, dana kompensasinya enggak saya bayar dulu'," jelas dia.
Bahkan dia juga menyebut pemerintah hampir tidak sanggup membayar dana kompensasi subsidi energi dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). "Pernah dana kompensasi itu baru dibayar 2 tahun. Sampai PLN pernah hampir gagal bayar. Subsidi energi ya. Kan subsidi energi dan subsidi BBM. Belum lagi. Yang dahsyat itu yang hampir 100 triliun sendiri apa? LPG itu," jelasnya. (Tribun Network/bel/daz/nis/wly)