TRIBUN-TIMUR.COM - Angka kemiskinan di Kabupaten Maros mengalami penurunan dalam empat tahun terakhir.
Kepala Bapelitbangda Maros Sulaeman Samad mengatakan penurunannya sekitar 0,22 persen selama empat tahun.
Pada 2019 angka kemiskinan 9,89 persen, 2020 sebesar 9,74 persen, 2021 sebesar 9,57 persen.
“Kemudian 2022 sebesar 9,43 persen, namun pada 2023 terjadi peningkatan yaitu 9, 65 persen,” ujarnya, Rabu (10/7/2024).
Sulaeman mengklaim meningkatnya angka kemiskinan di 2023 disebabkan bencana banjir.
“Karena kondisi alam, awal 2023 terjadi banjir sehingga terjadi gagal tanam,” tuturnya.
Kecamatan dengan angka kemiskinan tertinggi adalah Tompobulu dengan 22 persen. Terendah adalah Marusu dengan 1,44 persen.
Ia mengatakan ada berbagi program yang di jalan Pemda Maros untuk menurunkan angka kemiskinan.
Mulai dari keikutsertaan warga miskin sebagai peserta JKN hingga adanya program keluarga harapan.
“Di PMD dengan program pemberdayaan masyarakat desa dan penyediaan air bersih dan sanitasi di PU,” ujarnya.
Penduduk Miskin
Sulawesi Selatan kini menjadi provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di Pulau Sulawesi.
Jumlah penduduk miskin di provinsi yang memiliki 24 kabupaten/kota ini 736.480 orang atau 7,7 persen dari total penduduk pada tahun 2024 (9.463.385 jiwa).
Jumlah penduduk miskin di Sulsel mengalahkan 5 provinsi lainnya di Sulawesi.
Penduduk miskin di Sulawesi Tengah (Sulteng) sebanyak 379.760 orang, kemudian Sulawesi Tenggara (Sultra) sebanyak 319.710 orang, Sulawesi Utara (Sulut) 186.850 orang, Gorontalo sebanyak 177.990 orang, dan Sulawesi Barat (Sulbar) sebanyak 162.190 orang.
Demikian data dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Sulsel, Selasa (2/7/2024).
Namun, Kepala BPS Sulsel, Aryanto mengatakan, "Jadi kalau mau lihat data penduduk miskin, jangan lihat jumlahnya tapi lihat persentasenya. Memang Sulsel terbanyak jumlah penduduk miskinnya, karena juga terbanyak jumlah penduduknya."
Secara persentase Sulsel menempati urutan kedua terendah di Sulawesi.
Di bawal Sulsel, ada Sulut (7,25 persen).
Sementara persentase penduduk miskin paling besar di Sulawesi adalah Gorontalo sebesar 14,57 persen, disusul Sulteng 11,77 persen, serta Sultra dan Sulbar yang sama-sama 11,21 persen.
Banyaknya jumlah penduduk miskin di Sulsel sepertinya harus menjadi PR bagi para bakal calon gubernur.
Warga Sulsel akan memilih gubernur dan wakil gubernur melalui Pilkada serentak pada November 2024.
Dalam 1 periode, sejak 2018 hingga 2023, lalu berlanjut ke 2024, Sulsel sudah dipimpin 4 gubernur.
Mulai Nurdin Abdullah, lalu digantikan Andi Sudirman Sulaiman, lalu digantikan Bahtiar Baharuddin sebagai penjabat, dan kini Sulsel dipimpin Zudan Arif Fakrulloh sebagai penjabat.
Banyaknya penduduk miskin, dijelaskan Aryanto, karena pengukuran kemiskinan ini menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar.
Melalui pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan.
"Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan bukan makanan. Garis kemiskinan makanan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kkalori per kapita per hari. Sementara garis kemiskinan bukan makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan," jelasnya.
Bagaimana kriteria penduduk yang dikategorikan miskin?
Sebagai informasi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Sementara garis kemiskinan merupakan nilai pengeluaran minimum kebutuhan makanan dan bukan makanan yang harus dipenuhi agar tidak dikategorikan miskin.
BPS mencatat, garis kemiskinan pada Maret 2023 sebesar Rp 550.458.
Artinya, penduduk dengan jumlah pengeluaran kurang dari itu akan masuk kategori miskin.
Angka tersebut naik 2,78 persen dibandingkan periode September 2022 dan naik 8,90 dibandingkan periode Maret 2022.
Jenis komoditas yang menjadi penyumbang pengeluaran terbesar adalah makanan (73 persen perkotaan, 76,08 persen pedesaan) dan bukan makanan (27 persen perkotaan, 23,92 pedesaan).
Sementara garis kemiskinan per rumah tangga di Indonesia adalah sebesar Rp 2.592.657 per bulan, naik 11,55 persen dibandingkan September 2022.
Dengan demikian, rumah tangga dengan pengeluaran kurang dari itu masuk kategori miskin.
Dalam laporan itu, BPS mencatat bahwa tingkat kemiskinan pada periode Maret 2023 disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Februari 2023 sebesar 5,45 persen atau turun dibandingkan TPT Agustus 2022 sebesar 5,86 persen.
Kedua, Nilai Tukar Petani (NTP) pada Maret 2023 sebesar 110,85, meningkat dibandingkan September 2023 sebesar 106,82.
Ketiga, laju inflasi menunjukkan penurunan. Inflasi pada periode September 2022-Maret 2023 sebesar 1,32, lebih rendah dibandingkan periode Maret-September 2022 sebesar 3,60.
Keempat, konsumsi rumah tangga Triwulan I-2023 dibandingkan Triwulan III-2023 meningkat 3,60 persen.
Kelima, bantuan sosial tetap diupayakan untuk mengurangi beban pengeluaran penduduk miskin.
Menurut BPS, pemanfaatan bansos Program Keluarga Harapan (PKH) Triwulan I-2023 mencapai 89,3 persen, sementara pemanfaatan bansos sembako tahap I mencapai 86,5 persen.(kompas.com/tribun-timur.com)