Opini

Melayani Makassar

Editor: Sudirman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

H Azhar Arsyad SH MH, Ketua Umum DPW PKB Sulsel

Oleh: H Azhar Arsyad SH MH

Ketua Umum DPW PKB Sulsel

SEJAK abad XIV silam, kota ini bertumbuh sebagai kota ekonomi dikawasan timur nusantara.

Diluar sana, Makassar cukup dikenal sebagai kota niaga. Takdirnya yang startegis terletak disepanjang pesisir membuat kota ini cepat bertumbuh sebagai kota niaga.

Denyutnya sebagai kota niaga terus berdetak hingga kini. Perkembangannya cukup pesat. Dan orang-orang yang bergelut didalamnya terus menerus terdesak.

Sejak desentralisasi diamalkan tahun 2001 silam, kota ini berbenah untuk menguatkan dirinya. Jalur perdagangan kian terbuka, dan jalur investasi terus menerus berdenyut.

Investasi tak kunjung sepi. Para pemangku otoritas kota tak henti-hentinya bersorak ria menegaskan kesuksesannya.

Ketika Pilkada langsung dimulai 2005 silam, orang-orang berlomba menahkodai kota maritim ini. Visi-misi politik berhamburan berdesak-desakan dengan kepentingan politik setitik.

Ilham Arief Sirajuddin (IAS) walikota pertama produk pilkada memoles kota ini dengan membangun fasilitas publik yang kontroversial; Anjungan Pantai Losari dan Karebosi Link.

Meski ditentang, pembangunan kedua proyek itu terus berdendang. IAS membangun fasilitas kerumunan publik selain mal.

Hingga kini, dua fasilitas itu ramai dikunjungi warga.

Danny Pomanto (DP) wali kota kedua produk pilkada lalu mendesain kota ini sebagai kota modern dengan penuh gairah.

Di tangan wali kota berltarbelakang arsitek ini, Makassar didesain semoderen mungkin untuk merangsang investasi.

Gemerlap investasi pun begitu terang, entah itu sektor tekhnologi informasi, entah itu infrastruktur.

Maka nyaris segala event pemerintah kota menghadirkan “orang asing”. Pantaslah semboyan “kota dunia” digelorakan.

Kita simak misalnya, infrastruktur jalan dan lorong-lorong dibenahi, muaranya untuk investasi setidaknya investasi tekhnologi komunikasi.

Asumsi teoritisnya, agar “penjahat-penjahat kota” dapat diringkus dengan rekaman CCTV.

Dua wali kota produk Pilkada di atas boleh dikata sebagai roda perintis-penggerak pembangunan kota modern di abad “android”.

Pemunculan infrastruktur ruang publik baru dan pembangunan beberapa mal, dan hotel begitu meriah di zaman IAS.

Sementara, DP melanjutkan sejumlah infrastruktur itu disertai dengan perintisan tekhnologi komunikasi.

Bahkan, sarana tekhnologi komunikasi juga diterapkan dalam layanan publik administratif di lingkungan Pemkot Makassar.

Kedua wali kota di atas, memiliki hampir kemiripan dalam masa kepemimpinannya, yakni; mengandalkan investasi untuk mengelola kota megah ini.

Secara normatif, investasi adalah berkah. Namun secara aplikatif, investasi kadang menjadi persoalan hukum krusial.

Penyelewengan isi brankas seringkali mewarnai agenda investasi.

Investasi, kerap kali dipersepsi sebagai jalan pengentasan kemiskinan. Namun, faktanya investasi tak mengalir hingga jauh ke lapis bawah.

Kemilau investasi yang menerangi kota ini tak sedikitpun cahayanya menerpa warga lapis bawah. Di kawasan lorong, memang tertancap tiang-tiang listrik, tetapi cahayanya tak berkait dengan dompet warga.

Melayani

Kebijakan investasi untuk pembangunan kota memang diperlukan dizaman desentralisasi seperti ini.

Selain pajak, investasi bisa diandalkan menjadi dinamisator pembangunan kota, namun dengan beberapa syarat.

Pertama, investasi itu mesti dikelola secara transparan, tanpa penyelewengan. Akuntabilitas pemkot di sini sangat diperlukan.

Kedua, investasi tak boleh menjadi hijab bagi terselenggaranya “pelayanan Makassar” dengan seluruh komponen warga yang bergulat didalamnya.

“Melayani Makassar” harus dikonsentrasikan pula dalam gerak pembangunan.

Lantas, bagaimana konsepsi “melayani Makassar” yang dimaksud? Tulisan terbatas ini hendak menjelaskannya dengan ringkas.

Gagasan “Melayani Makassar” bertolak dari makna dasar demokrasi, bahwa rakyat sebagai pemangku kedaulatan.

Pilkada adalah mandat rakyat pada calon wali kota/wakil wali kota.

Ketika sang calon wali kota/wakil wali kota terpilih, maka mutlak harus melayani seluruh komponen Makassar, dalam hal ini warga dan kota ini. Artinya, “melayani Makassar” adalah aksi timbal balik mandat itu.

Maka seluruh perangkat Pemkot Makassar harus diorganisir untuk terwujudnya “melayani Makassar”.

Birokarasi kota, harus diorentasikan untuk “melayani Makassar”. Bukan melayani atasan.

Begitupun dengan perumusan kebijakan regulatif kota, harus dirumuskan berdasarkan kebutuhan warga kota. Untuk memastikan itu, maka pemerintah kota harus mengkomunikasikan rencana-rencana kebijakan yang hendak dirumuskan dengan seluruh komponen warga.

Disitu ruang dialog dibuka untuk memberi input-input terhadap rumusan kebijakan yang dirancang. Lalu apa instrumennya?

Perangkat kelurahan mesti bergerak untuk mengkomunikasikan itu di lapis bawah.

Sementara di lapis bawah, perlu menumbukan “forum warga kota” disetiap RT/RW.

Forum ini menghimpun warga untuk menjadi warga negara aktif dalam kehidupan berkota. Forum ini akan menjadi ruang belajar, ruang dialog antara warga dan pemerintah kota tentang berbagai persoalan warga, dan sebagai ruang penguatan produktifitas ekonomi warga.

Warga kaya, warga tak mampu dan unsur pemerintah kota mesti duduk bersama di dalam forum warga ini.

Dengan demikian, “melayani Makassar” merupakan sebuah agenda pembangunan tata kelolah pemerintahan lokal kota yang demokratis.

Tata pemerintahan lokal yang demokratis, mengedepankan prinsip pemerintahan“dari” masyarakat, dikelola secara akuntabel dan transparan “oleh” masyarakat dan dimanfaatkan secara responsive “untuk” kepentingan masyarakat luas.

Jadi, pemihakan konsep “melayani Makassar” adalah pemihakan pada seluruh komponen warga.

Bukan memihak pada ruang kota yang dipoles beraneka ragam bentuk lalu diabdikan untuk pemkot Makasaar. Ruang kota harus dikelolah untuk berdedikasi pada “melayani Makassar”. Bukan melayani Pemkot Makassar.(*)

Berita Terkini