Viral Sudanto Dijuluki Dokter Rasa Tukang Parkir, Layani Warga Papua Tarif Rp2 Ribu

Editor: Ari Maryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dokter FX Sudanto atau Fransiskus Xaverius Soedanto, dokter yang berjuluk Dokter Seribu Rupiah.

Berjalan kaki masuk – keluar hutan dan rawa, Fransiskus Xaverius Soedanto mengecek kesehatan masyarakat dari satu kampung ke kampung lainnya.

Bahkan, saat menembus luasnya hutan Asmat untuk menjangkau para pasien, Fransiskus Xaverius Soedanto hanya mengkonsumsi makanan seadanya.

"Saya hanya makan sagu dan ikan, sebab tidak ada sayur di sana, karena daerahnya rawa," ujarnya.

"Tapi, selama di Asmat, saya tidak sendiri. Saya ditemani beberapa tenaga medis masyarakat asli di sana," kata Soedanto kepada Tribun-Papua.com, di Jayapura, Papua, Jumat (21/1/2022).

Soedanto menceritakan masyarakat Asmat hidup dengan nilai budaya yang kental, bahkan mereka masih memakai pakaian berbahan dasar rumput. 

“Selama melayani, banyak masyarakat tak mampu. Mereka hanya membayar dengan sagu, ataupun kayu bakar dari hutan," katanya.

Inilah awal kisah Fransiskus Xaverius Soedanto yang berjuluk Dokter Seribu Rupiah memberikan pelayanan kesehatan masyarakat dengan tidak memasang tarif tinggi.

Setelah mengabdi di Asmat, Fransiskus Xaverius Soedanto pindah ke Jayapura pada 1982.

Rumah Sakit Jiwa Abepura menjadi tempatnya melayani pasien hingga pensiun pada 2013.

Namun, ketulusannya dalam melayani pengobatan masyarakat tidak pernah padam.

Alhasil, Apotek Rahmat di Jalan Ayapo, nmor 11 Abepura, Kota Jayapura, menjadi tempat baginya untuk terus memberikan pelayanan kesehatan bagi warga Kota Jayapura.

Hingga saat ini, genap sudah 40 tahun Soedanto memberikan pelayanan kesehatan di Negeri Matahari Terbit, Port Numbay.

"Waktu membuka praktek saat itu, rata-rata yang datang masyarakat kelas bawah, seperti pekerja bangunan, dan lain sebagainya," tutur pria yang sealmamater dengan Presiden RI, Jokowi di UGM itu.

Kata dia, pada tahun itu, harga pemeriksaan diberikan bagi masyarakat cukup murah.

"Sejak 1982 hingga 1985 biayanya Rp 500. Kemudian, saya lupa di tahun berapa itu naik menjadi Rp 2.000. Saya lupa karena sudah lama sekali. Sampai baru-baru ini sudah Rp 5.000,” katanya.

Halaman
123

Berita Terkini