Tungku Smelter Meledak di Morowali

Tampang Xiang Guangda Pemilik Smelter PT ITSS yang Meledak di Morowali

Editor: Edi Sumardi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Xiang Guangda pemilik PT ITSS atau PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel di Morowali, Sulteng.

TRIBUN-TIMUR.COM - Tungku smelter milik PT ITSS atau PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel di Morowali, Sulteng, meledak dan terbakar pada Ahad atau Minggu (24/12/2023) pagi.

Berdasarkan data terbaru, sebanyak 16 pekerja tewas dan lebih dari 40 luka.

Sebagian dari pekerja yang tewas merupakan warga Indonesia.

Indonesia Morowali Industrial Park atau PT IMIP menyatakan akan bertanggung jawab terhadap korban tewas.

Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Agus Nugroho mengatakan, ledakan ini bermula ketika tim teknis dari PT ITSS akan memperbaiki salah satu tungku feronito yang ada di lantai dua gedung PT ITSS.

Polisi kini sedang menyelidiki tragedi ini.

Namun, hingga kini polisi belum mengumumkan hasil penyeledikan, termasuk apakah ada tersangka atau tidak.

Lalu, siapa pemilik perusahaan?

Sosok Sulfikar Tulang Punggung Keluarga Asal Enrekang Tewas Akibat Ledakan Tungku Smelter Morowali 

Ternyata PT ITSS dimiliki warga Tionghoa.

Dia adalah Xiang Guangda.

Xiang Guangda adalah seorang industrialis Tiongkok dan pendiri Tsingshan Holding Group, sebuah perusahaan metalurgi yang utamanya bergerak dalam pembuatan baja tahan karat.

Xiang lahir pada tahun 1958 dari keluarga kelas pekerja di Wenzhou, Zhejiang.

Kisah Tragis Alumni UNM Baru 3 Bulan Kerja, Tewas Dalam Ledakan Tungku Smelter PT ITSS Morowali

Ia memulai pekerjaan pertamanya pada tahun 1980 sebagai mekanik di sebuah perusahaan perikanan milik negara di bawah program penghidupan yang disediakan oleh Deng Xiaoping, dan akhirnya naik pangkat menjadi direktur bengkel perusahaan tersebut.

Pada tahun 1986, bersama kerabatnya, ia mendirikan sebuah bengkel yang memproduksi jendela dan pintu mobil.

Pada tahun 1988, ia meninggalkan pekerjaannya di perusahaan milik negara untuk menjadi pengusaha penuh waktu, mengumpulkan sekitar USD 100.000 dari teman-teman dan kerabat untuk mendanai bisnis mereka.

Menurut Xiang dalam sebuah wawancara, ia beralih ke pembuatan baja tahan karat setelah perjalanan ke Jerman pada tahun 1992 yang meyakinkannya bahwa produksi suku cadang mobilnya tidak akan berkelanjutan dalam jangka panjang.

Perusahaannya diubah namanya menjadi Tsingshan pada tahun 1998, dan perusahaan tersebut tumbuh pesat karena fokusnya pada pengurangan biaya.

Perusahaan ini menjadi perintis dalam penggunaan pig iron nikel yang lebih murah sebagai pengganti nikel logam dalam produksi baja tahan karat, dan menerapkan penggunaan tungku rotary kiln untuk produksi secara kontinu.

Di bawah kepemimpinan Xiang, Tsingshan mulai berinvestasi di tambang nikel di Indonesia pada tahun 2000-an, ketika cadangan masih belum terbukti.

Tsingshan mendirikan kompleks produksi nikel dan baja tahan karat di Sulawesi (Morowali Industrial Park), yang lebih lanjut menurunkan biaya produksi baja tahan karat. Tsingshan juga mendirikan pabrik produksi di India dan Zimbabwe.

Meskipun pada pertengahan tahun 2000-an Tsingshan adalah salah satu produsen baja tahan karat di Wenzhou, pada tahun 2021 perusahaan ini menyumbang hampir seperempat dari produksi global, menjadi yang terbesar dalam industri tersebut.

Kekayaan bersih Xiang diperkirakan oleh Forbes pada tahun 2021 mencapai USD 1,2 miliar.

Beberapa bulan sebelum Maret 2022, Xiang mulai mengambil posisi short besar dalam nikel melalui Tsingshan, sebagai lindung nilai terhadap penurunan harga.

Namun, karena kenaikan harga nikel yang disebabkan oleh invasi Rusia ke Ukraina, Xiang terpaksa membeli kontrak nikel di London Metal Exchange, menciptakan situasi di mana harga nikel di bursa tersebut meningkat lebih dari 100 persen, mencapai lebih dari USD 100.000 per ton sebelum perdagangan dihentikan.

Saat perdagangan dihentikan, Tsingshan mengalami kerugian sebesar USD 10 miliar secara teoritis.

Namun, LME yang dimiliki Hong Kong kemudian secara retrospektif membatalkan perdagangan yang telah terjadi, dan setelah harga stabil dan perdagangan dilanjutkan, kerugian Xiang ditandai sebagai jauh lebih rendah, memicu klaim manipulasi perdagangan oleh bursa untuk keuntungan Xiang Guangda, klaim yang dibantah oleh LME.

Harga nikel akhirnya turun, dan kerugian Xiang berakhir sekitar USD 1 miliar saat ia menutup posisinya.(*)

Berita Terkini