Ikrar menjelaskan, sampai satu bulan lalu, dirinya masih belum percaya Presiden Jokowi akan mengambil langkah yang akan memudahkan pencalonan putranya dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Sampai pada suatu hari dia berubah pikiran ketika sedang berbincang dengan sejumlah politisi yang juga rekan-rekannya.
Dari rekan-rekannya itulah Ikrar mengetahui kepastian bahwa ada tekanan politis untuk mengubah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal uji materi batas usia capres dan cawapres.
Mantan Duta Besar RI untuk Tunisia itu pun menduga ada rekayasa yang terjadi di MK.
Yang mana putusan hakim yang tadinya menolak, kemudian berubah menjadi menerima sebagian.
Oleh karenanya, Ikrar khawatir dalam proses Pemilu 2024 yang berlangsung cukup panjang nantinya ada lagi rekayasa-rekayasa yang terjadi.
Terlebih, saat Gibran sudah resmi menjadi peserta pemilu nantinya dikhawatirkan Presiden menjadi tidak netral. Sebab seorang Presiden memiliki kapital yang sangat besar lewat kekuasaannya.
"Bagaimana mau netral, wong anaknya ikut kontestasi (pemilu). Kebetulan dia masih Presiden Indonesia. Saya tidak menuduh, bukan mustahil dia akan menggunakan institusi baik TNI, Polri, BIN, BSSN," ungkap Ikrar.
Ikrar yang juga mantan Kepala Pusat Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu pun menyayangkan Presiden Jokowi yang sudah mencatat rapor baik di sejumlah bidang, baik ekonomi, infrastuktur, pembangunan di Papua dan sebagainya.
"Tetapi justru menciderai situasi politik. Memberikan warisan yang berdemokrasi untuk generasi milenial, generasi Z," tambahnya.
Sebagaimana diketahui, tanda-tanda Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres untuk Prabowo Subianto menjadi semakin jelas setelah Partai Golkar mengumumkan dukungan untuk Prabowo dan Gibran.(*)