Di Asia Tenggara, ada Syed Hussein Alatas, sosiolog yang melahirkan ide orisinal terkait pemenjaraan intelektual (the captive mind) dan populer berkat karya babonnya The Myth of the Lazy Native (Mitos Pribumi Malas).
Di Indonesia, Prof. Malek mengingatkan forum kepada Mohammad Natsir, perdana menteri Indonesia di masa perjuangan, yang disegani karena keberaniannya melawan kolonialisme Belanda.
Baik Syed Hussein Alatas dan Mohammad Natsir merupakan intelektual yang sama-sama mengambil jarak kepada pemahaman barat. Diibaratkan tanaman, ide-ide barat tidak akan dapat tumbuh subur di tanah orang-orang timur.
Di akhir pemaparan, Prof. Malek menekankan perlu suatu world view bagi sistem pendidikan yang dapat menyelaraskan tiga tatanan yaitu kehidupan informal (keluarga), formal (sekolah), dan non-formal (masyarakat) agar dapat melahirkan pribadi-pribadi yang berbudi baik ketika menghadapi dinamika kehidupan di antara ketiga tatanan itu.
Ketiga tatanan ini juga mesti ditopang oleh tatanan epistemik menurut perspektif agama, berupa tafakkur (berpikir), tadabbur (perenungan), ta’ammul (pengamatan serius), tasyakkur (bersukur), tadzakkur (ketenangan batin), dan tazkirah (keteladanan).
Sebelum mengisi kuliah umum di Program Studi Sosiologi, kedatangan Prof.Dr. Jalaluddin Malek di Makassar dalam rangka menjadi pembicara di International Conference on Humanities Education, Law, and Social Sciences (ICHELSS) 2023 bersama Prof. Najma Musa dari University of the Wetern Cape South Africa bekerja sama dengan Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) dan Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Makassar.
Kegiatan ini disambut baik oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Prof. Dr. Jumadi., S.Pd., M.Si, sekaligus membuka kegiatan ini.
“Prof. Dr. Jalaluddin Abdul Malek, akan menjadi guru besar tamu di Program Studi Sosiologi. Beliau akan mengisi kuliah tamu 2 atau 3 sesi selama satu semester ke depan,” bebernya yang disambut hangat peserta forum.(*)