Lain halnya dengan penduduk pedalaman, bila mereka menghadiri shalat Id, maka kewajiban shalat Jumat gugur dari mereka.
Mereka boleh meninggalkan Jumat dan bergeser menuju kediaman mereka di pedalaman’” (Imam As-Sya’rani, Al-Mizanul Kubra, [Beirut, Darul Fikr: 1981 M/1401 H], juz I, halaman 202).
As-Sya’rani menambahkan bahwa ada pandangan lain yang lebih berat dan bahkan lebih ringan ketika hari raya id dan hari Jumat berbarengan di hari yang sama.
Imam Abu Hanifah mewajibkan shalat Jumat bagi penduduk kota dan penduduk pedalaman.
Ahmad bin Hanbal menyatakan ketidakwajiban shalat Jumat bagi penduduk kota dan penduduk pedalaman.
Kewajiban shalat Jumat telah gugur sebab pelaksanaan shalat id pada pagi hari.
Penduduk kota dan pedalaman dapat menggantinya dengan shalat zuhur.
Sementara Imam Atha mengatakan, kewajiban shalat Jumat atau shalat zuhur telah gugur sehingga setelah pelaksanaan shalat Id tidak ada shalat lain selain ashar.
Pendapat As-Syafi’i meringankan orang pedalaman.
Pendapat Abu Hanifah membebani orang kota dan orang pedalaman.
Pendapat Ahmad bin Hanbal meringankan orang kota dan orang pedalaman.
Pendapat Imam Atha sangat meringankan orang kota dan orang pedalaman.
Tetapi pilihan atas pelbagai pendapat itu dikembalikan pada pertimbangan yang proporsional. (As-Sya’rani, 1981 M/1401 H: I/202).
Dalam konteks Indonesia, terutama di pulau Jawa, di mana hampir setiap desa memiliki masjid yang menyelenggarakan Jumat, maka konsep penduduk kota dan penduduk pedalaman yang sulit mengakses masjid karena problem jarak atau geografis yang menyulitkan dalam kajian fiqih tidak kontekstual pada sebagian besar daerah di Indonesia.
Dengan demikian, kita dapat mengembalikan shalat idul adha dan shalat Jumat pada hukum asalnya.
Kita tetap melaksanakan shalat sunnah idul adha dan shalat Jumat yang wajib. Demikian jawaban singkat kami.
Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca. (*)