Oleh: Fathur Muhammad
Alumnus Ilmu Falak UIN Alauddin Makassar dan Magister Ilmu Falak (Astronomi Islam)/ Ketua Departemen Etnoastronomi Indonesia Islamic Astronomy Club
TRIBUN-TIMUR.COM - Perbedaan dalam penentuan awal bulan kamariyah seperti Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah khususnya dalam menyambut awal dan akhir bulan puasa atau hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, karena problematika tersebut menyangkut persoalan wajib ‘ain untuk setiap umat muslim.
Hal ini, mungkin sudah lumrah dikalangan (jumhur) Ulama Ilmu Falak dan pakar astronomi di Indonesia, namun berbeda dengan steretiop masyarakat mungkin terdengar membingungkan dari sikap pemerintah dan ormas Islam.
Jadi, pertanyaan-pertanyaan selama ini yang kadang membuat masyarakat bingung adalah mengapa sering kali terjadinya perbedaan dalam meamasuki atau mengakhiri bulan Ramadhan antara pemerintah dan ormas Islam di Indonesia?
Sebelum menelaah lebih jauh, perlu kita edukasikan tentang apa itu awal bulan kamariyah kepada umat Islam.
Awal bulan kamariyah atau lunar system merupakan sistem penanggalan yang digunakan oleh umat muslim atau biasa dikenal dengan istilah penanggalan Hijriah yang biasa digunakan untuk keperluan ibadah.
Adapun titik acuannya adalah pergerakan bulan secara alamiah terhadap bumi untuk proses penentuan suatu waktu.
Secara astronomis, lama pergerakan bulan mengelilingi bumi memerlukan waktu 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik.
Pada dasarnya kalender bulan terdiri dari 12 bulan, satu bulan ada yang lamanya 29 hari dan ada yang 30 hari. Maka, dalam setahun hanya ada 12 x 29 hari sama dengan 354 hari.
Jadi memiliki selisih 11 hari dari kalender matahari/Masehi 365 hari.
Oleh karena itu, untuk tetap menjaga konsistensi dengan gerak matahari, dibuatlah tahun kabisat yang terdiri dari 13 bulan sebanyak 7 kali dalam 19 tahun.
Perlu kita pahami bersama, ketika mengkaji awal bulan kamariyah, maka kita pasti menemukan sebuah fenomena berulang.
Sebuah polemik klasik monumental dan aktual sepanjang sejarah peradaban astronomi Islam, yaitu dalam hal penetapan awal bulan tersebut sering kali menimbulkan pro-kontra pada mentode yang digunakan.
Dari banyaknya interpretasi dan legitimasi, ada dua macam sistem penentual awal bulan kamariyah digunakan umat muslim di Indonesia bahkan di dunia, yakni metode Hisab dan Rukyat.
Dari dua metode inilah kemudian melahirkan beragam problematika dalam metaverse penentuan awal bulan kamariyah, pergolakan Ahmad Izuddin sebut sebagai poros “mazhab hisab” (Muhammadiyah) dan “mazhab rukyah” (Nahdlatul Ulama). Menurutnya, bahwa akuar permasalahannya adalah mengenai penafsiran dari kata rukyah pada hadist tersebut antara penafsiran ta’abudi oleh mazhab rukyah dan ta’aqulli oleh mazhab hisab.