Oleh:
Nani Anggraini
Mahasiswi Program PhD, Universitas Kitakyushu, Jepang dan Dosen Teknik Lingkungan Universitas Bosowa
dan
Djusdil Akrim
Doktor Lingkungan, Praktisi Industri dan KPS Teknik Lingkungan Universitas Bosowa
TRIBUN-TIMUR.COM - “Memilah Sampah, bukan Mengais Sampah!” Kedua aktifitas ini menjadi sebuah fenomena menarik untuk dicermati. Perilaku pertama menjadi salah satu aktifitas keseharian warga di Negeri Matahari Terbit.
Sedangkan perilaku kedua, maaf justeru merupakan sumber mata pencaharian segelintir warga di Negeri bertajuk “Zamrud Khatulistiwa, Gemah Ripah Loh Jinawi”. Sungguh miris rasanya, sebagai anak bangsa melihat potret negeri kami dari luar!
Padahal sejatinya perilaku “mengais” dapat dikendalikan. Bila ada kesadaran warga untuk melakukan pemilahan sampah.
Hal itu sangat mungkin terwujud jika setiap individu merubah kebiasaan dari kata “membuang” menjadi “menaruh” sampah.
Sehingga rumah tangga mulai aktif melakukan pemilahan. Disini butuh komitmen kuat dari seluruh elemen masyarakat dalam menjaga kebersihan. Selanjutnya pemerintah hadir menyiapkan infra struktur yang sesuai kebutuhan di lapangan.
Dengan demikian profesi mengais sampah berubah menjadi pengumpul bahkan pengelola sampah. Sebagai bagian dari Program Ekonomi Sirkular yang diadopsi Indonesia dalam visi strategi pembangunan lima sektor prioritas.
Perlahan tapi pasti sampah yang berserakan mulai tereduksi, lingkungan yang bersih mulai terwujud. Hingga suasana yang apik, indah dan resik akan tersaji.
Kapan semua itu tercapai? Sebuah pertanyaan yang saatnya mesti dijawab, ketika momen memperingati HPSN tidak sebatas seremonial.
Berawal dari Rumah
Solusinya adalah pemilahan sampah yang harus berawal dari lingkungan terkecil, yaitu rumah. Setiap rumah tangga akan bertanggung jawab pada sampah yang mereka hasilkan. Terutama dari aspek pemilahan sampah.
Sampah kemudian akan diangkut oleh mobil pengangkutan sampah tertentu. Sesuai dengan hari dan jadwal yang telah ditetapkan.
Sehingga peluang untuk tercampurnya sampah dalam proses mobilisasi dapat terantisipasi.
Di Kota Kitakyushu, Perfektur Fukuoka, Jepang. Tempat penulis menimba ilmu, sampah yang dihasilkan rumah tangga dibagi atas 4 jenis dan dipilah oleh rumah tangga kedalam wadah berupa 4 kantung plastik yang berbeda warna (Biru, Hijau, Orange dan Coklat).
Jumlah wadah pemilahan sampah ini akan berbeda disetiap kota di Jepang tergantung kebijakan pemerintah setempat.
Sampah wadah biru untuk sampah mudah membusuk sisa dapur dan warna lainnya untuk sampah recycle. Sampah wadah biru diangkut dua kali dalam sepekan yaitu pada Hari Senin dan Kamis.
Wadah hijau berisi sampah kantong kresek atau soft plastic yang mudah diremas seperti plastik kontainer bekas tempat makanan, diangkut setiap Hari Selasa. Wadah orange berisi sampah botol plastic (PET) diangkut pada Hari Rabu.
Terakhir wadah coklat berisi sampah kaleng dan botol kaca juga diangkut pada Hari Rabu. Harga setiap kantung wadah sampah ini dianggap sebagai iuran sampah.
Sehingga setiap rumah tangga tidak dibebankan lagi dengan iuran sampah. Harga kantung wadah sampah tergantung ukuran wadah tersebut misalnya di harga 110-yen untuk wadah biru ukuran 10 L dan 500-yen untuk wadah biru ukuran 45 liter.
Jadi pola penarikan kewajiban iuran dirubah dengan cara “cerdas” menjadi kebutuhan berupa wadah. Adapun harga kantung cukup proporsional dan mudah ditemukan pada supermarket kecil maupun besar.
Budaya Masyarakat Bersih
Kota Kitakyushu sendiri merupakan Kota Model ramah lingkungan bagi Pemerintah Jepang untuk masalah rehabilitasi Lingkungan.
Kota Kitakyushu bahkan memiliki Eco-Town yang diakui PBB sebagai area edukasi dan pengelolaan lingkungan. Budaya masyarakat bersih ini didapat dari penerapan Pendidikan Karakter.
Dimana sejak awal pengetahuan mengenai kepedulian akan lingkungan sudah diajarkan. Mulai sejak usia dini dari tingkat TK, SD dan seterusnya.
Pengelolaan lingkungan telah masuk kedalam kurikulum pendidikan di sekolah. Tulisan dan visi misi SDGS terpampang dimana-mana diberbagai fasilitas umum sehingga kesadaran masyarakat akan lingkungan bukan hal yang diragukan lagi.
Pengalaman penulis selama di Jepang bahwa sudah sangat jarang ditemukan tong sampah di area publik seperti taman dan jalanan. Setiap orang yang menghasilkan sampah dituntut untuk bertanggung jawab atas sampah yang dia hasilkan!
Fasilitas TPS atau Tempat Pembuangan Sampah Sementara cenderung sangat sederhana. Letaknya di sekitar permukiman, hanya berupa tiang penanda dan jaring penutup.
Namun rupanya bukan fasilitas megah yang permanen dan membuat pengelolaan sampah menjadi baik.
Melainkan sistem yang diciptakan, kesadaran masyarakat –aware- yang sudah mengakar serta proses pengolahan atau treatment diakhir yang cermat dan tepat guna.
Pada akhirnya berdasarkan studi empiris ini bisa disimpulkan bahwa setiap kebijakan publik membutuhkan keterlibatan semua pihak.
Perlu effort yang totalitas dari semua stake holders bila memang kita mau sustain. Selamat memperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN- 21 Februari 2023). Semoga kita masih ingin belajar dan berniat untuk berubah! Allahu Alam.(*)