TRIBUN-TIMUR.COM, ENREKANG -Puluhan tahun warga Lingkungan Sudda, Kelurahan Leoran, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, harus menantang maut untuk melintasi Sungai Saddang, Rabu (9/11/2022).
Mereka bertaruh nyawa melawan derasnya sungai menggunakan perahu rakit atau sampan demi menyambung hidup sehari-hari.
Bagi warga, tidak ada pilihan lain sebab jalur tersebut menjadi satu-satunya akses perekonomian paling cepat menuju ke Kota Enrekang.
Selain itu, sungai yang luasnya sekira 60 meter ini juga menjadi akses utama para pelajar ketika hendak menuju ke sekolah.
Meski jaraknya dari Kantor Bupati Enrekang berkisar satu kilometer, namun pemerintah daerah seakan menutup mata.
Padahal ini menjadi kebutuhan paling mendasar diperhatikan karena menyangkut keselamatan nyawa warga.
"Semasa saya hidup, tidak pernah ada jembatan penyeberangan di daerah kami. Yang ada itu menyebrang pakai sampan," ujar Abdul (60) kepada TribunEnrekang.com.
Pria yang sempat mengarungi sungai ini menjelaskan, tak ada sekolah, pasar, dan area publik di lingkungan mereka.
"Sebenarnya ada jalan lain yang lebih aman, tapi jauh sekali kalau itu dilewati karena harus menempuh puluhan kilometer. Kalau menyebrang sungai kan hanya butuh 15 menit untuk sampai di kota," katanya.
Abdul menyadari, keselamatan mereka kapan saja bisa terancam. Apalagi hampir setiap hari mereka selalu menyebrang hanya pakai sampan dengan bantuan dayung.
"Bahaya sekali tapi apa boleh buat, ini jalan satu-satunya. Apalagi kan saat ini musim hujan tentu membahayakan terutama anak-anak kami yang setiap hari ke sekolah," ujar dia.
Hal yang sama dirasakan Jasman (40) seorang petani yang hendak menuju ke pasar membawa dua karung pisang atau hasil panennya untuk dijual.
"Kalau banyak lagi air (Debit air sungai tinggi) tetap kami menyebrang karena hanya itu yang dekat menuju kota," katanya.
Namun, kata Jasman, bagi anak-anak pelajar, terpaksa harus libur kalau sungai tersebut meluap.
"Sering kami perahu kami tenggelam ketika menyebrang, akibatnya hasil bumi yang kami bawa ikut terhanyut. Yang kita relakan saja demi menyelamatkan nyawa," kata Jasman.
Dia mengatakan, mereka berulang kali meminta bantuan ke pemerintah daerah terkait infrastruktur jembatan, namun yang didapatkan hanya sebatas janji manis belaka tanpa bukti.
"Mereka cuma janji-janji saja. Sebenarnya sudah ada rencana pemerintah soal pembuatan jembatan bahkan sudah selesai pembebasan lahan. Tapi tidak tahu sampai sekarang bagaimana kelanjutannya atau mungkin tidak jadi lagi," tandasnya.
Pemerintah Kabupaten Enrekang menggunakan dana pinjaman PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) sebesar 441 Miliar.
Bupati Enrekang, Muslimin Bando mengatakan, telah menghabiskan Rp264 miliar lebih untuk perbaikan infrastruktur jalan.
Selain infrastruktur jalan, dana sebanyak Rp 40 miliar digunakan pada lini sektor infrastruktur rumah sakit.
Diantaranya, pembangunan Rumah Sakit Pratama Belajen dan Rumah Sakit Umum Daerah Massenrempulu.
Hal itu disampaikan Muslimin Bando saat bertandang ke Kantor Tribun Timur, Jl Cendrawasih No 430, Makassar, Minggu (10/10/2022) lalu.
"Kita dapat 441 miliar dan 60 persen dipakai untuk membangun infrastruktur jalan. Itulah yang dipakai membangun jalanan sampai di gunung-gunung dicor karena kalau tidak kasihan petani yang dipegunungan," ujar Muslimin Bando.
Ia menegaskan, dana PEN juga diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur olahraga, pasar, dan jembatan.
Kendati demikian, masih banyak ruas jalan di tiap kecamatan yang rusak berat.
Salah satunya jalan di sepanjang Desa Salassa, Kecamatan Curio, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan (Sulsel) rusak parah.
Salah satu titik jalan rusak parah yakni di tanjakan Dusun Pentoanginan, samping Tempat Pemakaman Umum (TPU).
Setelah disoroti, jalan yang sebelumnya dipenuhi lubang hingga kedalaman 20-30 cm namun saat ini hanya ditimbun menggunakan material tanah.
Akibatnya, saat musim kemarau jalan rusak tersebut berdebu. Sedangkan kala musim hujan jalanan licin.
Begitupun dengan masyarakat Lingkungan Sudda, Kelurahan Leoran, yang berpuluh-puluh tahun tidak pernah menikmati jembatan penyeberangan.
Padahal, melihat nasib warga dan anak-anak sekolah harus bertaruh nyawa melintasi derasnya Sungai Saddang hanya menggunakan sampan atau perahu kayu.(*)