Cancel Culture
Oleh; Moch Hasymi Ibrahim
Budayawan
TRIBUN-TIMUR.COM - Pada era digital ruang publik kita dipenuhi oleh beragam istilah yang merujuk pada “perilaku-digital” kita.
Tak pelak istilah-istilah tersebut umumnya dicomot dari terminologi teknis terkait teknologi digital. Misalnya istilah “cancel” yang berarti membatalkan; “membatalkan” persetujuan, langganan dan seterusnya.
Ada pula istilah umum yang kemudian dipakai untuk merujuk pada perilaku digital dimaksud. Misalnya, “klik” yang berarti kelompok kecil orang yang memiliki pandangan atau kepentingan bersama, kemudian dipakai untuk tindakan memencet tombol tertentu pada layar gadget atau mouse pada komputer.
Yang terakhir ini adalah turunan dari kata “klik” yaitu suara yang muncul ketika kita menekan tombol kamera.
Pada level selanjutnya, terminologi yang lazim di dunia digital ini, bertransformasi dan dirujuk menjadi istilah filosofis dan akademis.
Atau sebaliknya, gejala-gejala sosiokultural yang telah menjadi perhatian para pemikir kemudian bertransformasi menjadi istilah lazim yang merujuk pada perilaku digital masa kini.
Salah satunya adalah istilah “ cancel culture ".
*
Istilah cancel culture adalah lanjutan dari istilah cancel, slang pada tahun 80-an yang mengacu pada ungkapan putus dengan seseorang.
Beberapa waktu belakangan, cancel culture telah menjelma menjadi gagasan yang banyak digunakan di dunia politik. Jadi istilah ini jelas terkait dengan ruang dan wacana publik yang oleh Jurgen Habermas, 1962, disebut sebagai ranah elite.
Pada masa kini, ketika ruang dan wacana publik makin baur dan demokratisasi media sudah berlangsung demikian masif, apalagi melalui sosial-media, maka cancel culture dimaknai sebagai pilihan tindakan untuk menolak dominasi melalui pemberian hukuman.
Maksudnya, publik dapat secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melalukan penolakan terhadap individu, kelompok atau wacana tertentu melalu tindakan mengabaikan atau memblokir.