Sejak tahunan lalu, katanya, rekrutmen tenaga honorer diangkat secara mandiri oleh masing-masing instansi.
Sistem rekrutmen yang tidak jelas ini pun berdampak pada pengupahan yang diterima oleh pegawai non-ASN.
Untuk memastikan adanya standarisasi rekrutmen dan pengupahan, pemerintah pun berupaya melakukan penataan tenaga non-ASN.
Yaitu dengan menghapus tenaga honorer pada 2023.
Kebijakan ini, kata Tjahjo, merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN yang disepakati bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Selain itu, penataan ini juga merupakan bagian dari langkah strategis pemerintah untuk membangun sumber manusia (SDM) Aparatur Sipil Negara (ASN) yang lebih profesional dan sejahtera.
"Penataan tenaga non-aparatur sipil negara atau non-ASN pada pemerintah pusat maupun daerah adalah bagian dari langkah strategis untuk membangun SDM ASN yang lebih profesional dan sejahtera serta memperjelas aturan dalam rekrutmen," jelas Menteri Tjahjo, dikutip dari laman Kemenpan RB, Sabtu (04/06).
Pengupahan kerap di bawah UMR
Tidak jelasnya sistem rekrutmen tenaga honorer dinilai telah berdampak pada pengupahan yang diterima.
Menteri Tjahjo mengungkapkan, upah yang diterima oleh tenaga non-ASN atau tenaga honorer selama ini kerap di bawah upah minimum regional (UMR).
"Tenaga honorer sekarang kesejahteraannya jauh dibawah UMR. Pemerintah dan DPR mencari jalan agar kompensasi tenaga honorer bisa setara dengan UMR," ujarnya.
Sebelumnya, Tjahjo juga sempat menyebutkan jika tenaga honorer tidak mempunyai standar pengupahan yang jelas.
Tenaga honorer berbeda dengan aparatur sipil negara (ASN) yang sudah memiliki standar penghasilan atau tenaga alih daya (outsourcing) yang sistem upahnya terdapat di UU Ketenaga kerjaan.
“Kalau statusnya honorer, tidak jelas standar pengupahan yang mereka peroleh,” katanya, Jumat (3/5/2022).
Agar ada standarisasi rekrutmen dan upah, kini tenaga non-ASN itu diharapkan dapat ditata.