Resonansi Tribun Timur

Kurltur Kopi: Dari The Turk’s Head hingga Pawarkop Makassar, dari Albert Camus hingga

Editor: AS Kambie
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Moch Hasymi Ibrahim

Oleh: Moch Hasymi Ibrahim

Budayawan Sulsel

Tulisan Kolom Hasymi Ibrahim, Resonansi Tribun Timur, ini terbit setiap akhir pekan, hari Minggu, di Tribun Timur cetak

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Kita memiliki khasanah yang amat bagus untuk memuliakan kopi. Salah satunya adalah warkop atau warung kopi. Di tempat-tempat lain disebut sebagai coffee-shop, coffee-bar atau cafe. 

Tradisi minum kopi di warkop, katakan saja begitu, dimulai di Konstantinopel atau Istanbul pada kisaran tahun 1475 Masehi.

Nama warkop atau cafenya adalah Kiva Han. Dalam catatan sejarah, inilah cafe pertama di muka bumi. 

Selanjutnya, di Eropa dimulai di Wina, pada 1529, oleh seorang yang bernama Franz Georg Kolaschitzky yang mengolah biji kopi rampasan tentara Turki. 

Memang, Franz Georg Kolaschitzky pernah tinggal di Turki. 

Dari Cafe-nya inilah kopi dan kultur coffee shop di Eropa bermula. Salah satu catatan menyebut bahwa di sini pulalah tradisi minum kopi dengan gula dan krim berawal. 

Lalu di Inggris coffee shop pertama hadir pada 1652 dengan namaThe Turk’s Head. 

Nama ini mengindikasikan bahwa Turki benar adalah “kiblat” kopi sedunia. Di The Turk’s Head ini pula lahir kebiasaan memberi tip, dan kata “tips” dipakai hingga sekarang. 

Sebuah toples diletakkan di meja bar dan seseorang yang ingin cepat dilayani atau puas dengan pelayanan dapat memasukkan koin ke dalamnya, sebagai tip.

Belum ada catatan kapan warkop atau tradisi minum kopi di coffee-shop bermula di sini. Yang dapat kita ketahui kultur warkop kita kadang menimbulkan berbagai “masalah” karena dikonotasikan miring. 

Sebut misalnya anggapan bahwa “para penggiat warkop” atau pawarkop adalah kalangan “setengah pengangguran” sehingga mengganggu produktivitas kerja. 

Apalagi kemudian, terutama belakangan ini, warkop bertransformasi menjadi ruang pembentuk wacana publik bagi kota. 

Tak jarang, dari warkop lahir agenda-agenda politik yang dapat membuat para pejabat tidak nyaman. 

Seakan, para “ pawarkop ” ini dipandang sebagai satu kekuatan politik tersendiri, apalagi pada saat yang sama para politisi juga tak jarang menggulirkan agenda-agenda mereka di warkop.

Tetapi sesungguhnya ini bukan hal baru ketika warkop dimaknai sebagai sebuah ruang publik tempat wacana dilahirkan, diolah dan diuji lalu ditransmisi ke publik. 

Kita bisa melacak ihwal ini ke Perancis sebelum revolusi. 

Cafe d’Alexandre di Paris misalnya adalah tempat nongkrong para pemikir moderen seperti Charles Montesquieu dan Voltaire.

Kuat dugaan bahwa gagasan trias-politica Charles Montesquieu lahir dan diuji di Cafe d’Alexandre, juga gagasan pencerahan Voltaire yang kemudian memicu Revolusi Perancis. 

Pada awal abad ke-20, Kafe Les Deus Magots di Paris adalah tempat para penulis dan pemikir besar berkumpul.

Para “ pawarkop ” itu antara lain Jean Paul Sartre, Simone de Beauvoir, Albert Camus, dan Ernest Hemingway. 

Artinya, melihat perjalanan sejarah, kultur warkop bukanlah hal yang buruk-buruk amat seperti yang dikonotasikan.

Di Paris kultur warkop bisa memicu revolusi, melahirkan filsafat dan pemikiran politik yang kita pakai hingga kini serta karya-karya agung yang mempengaruhi literatur dunia, termasuk mempengaruhi cara kita memandang kehidupan. 

Memang tampak ironis karena di sini, seperti ungkapan Gus Im, KH Hasyim Wahid, almarhum adik bungsu Presiden Gus Dur, pada awal tahun 2000-an.

Katanya, kalau di Perancis cafe bisa melahirkan filsuf, di sini bisa melahirkan “perek”. Tapi apa benar demikian? ***

Berita Terkini