Oleh: Abdul Karim
Majelis Demokrasi & Humaniora
Akhir-akhir ini, politik kian intensif diperagakan dengan beragam bentuknya yang runyam.
Ia begitu menyengsarakan rakyat kebanyakan. Apa guna politik demikian? Tak ada selain menambah daftar dosa.
Politik minyak goreng misalnya, malah menyengsarakan sebagian besar masyarakat. Setelah disubsidi, minyak goreng malah dilenyapkan dari pasar.
Liberalisme ekonomi-politik melenyapkannya, dan itu menyengsarakan ummat.
Kenapa liberalisme? Sebab liberalisme anti subsidi.
Perjuangan mereka adalah bagaimana pasar dikelola oleh mereka (pemodal) dengan jejaringnya tanpa negara.
Sialnya, para pengelola negeri ini, menerima itu dengan mengubah konstitusi dan Undang-undang agar tak dianggap melanggar aturan.
Akibatnya, dibawah terjadi gejolak. Ibu-ibu rumah tangga mesti berburu minyak goreng kemana-mana.
Bilapun menemukannya, mereka harus antri ber-jam-jam. Disaat antri, ada yang terinjak.
Gegara minyak goreng rakyat saling injak-menginjak.
Minyak goreng yang langka membuat hidup kita tak berminyak.
Kekurangan minyak goreng akan melahirkan karat yang menghambat normalitas kehidupan.
Ekonomi bangsa ini benar-benar rapuh, atau istilah rekan saya; "dirapuhkan".
Belum habis kabar-kabar tentang Covid dan vaksinnya yang serba wajib itu, minyak goreng malah lenyap, dan solar ikut-ikut langka.
Tabung gas tak mau kalah, harganya menanjak pula.
Rakyat seolah tercekik ditengah keadaan terjepit. Mereka faham, bahwa semua itu terjadi bukan karena takdir, melainkan kesengajaan ekonomi-politik yang digerakkan tanpa perasaan.
Disaat begitu, yang menjamur cepat adalah ulama. Populasinya terus menanjak.
Catatlah misal disini; kehadiran Sandiaga Uno--menteri Pariwisata dan Airlangga Hartarto--ketua umum Partai Golkar sekaligus menteri Kordinator Perekonomian beberapa pekan lalu.
Kedua menteri--politisi ini datang mengumpulkan ulama-ulama. Mendadak banyak pihak yang muncul sebagai "ulama".
Mereka berkumpul dihotel megah bersama kedua politisi itu; entah itu ulama lama, entah itu ulama baru.
Dan tentu saja, kita tak berani menyimpulkan bila pertemuan itu adalah forum suci.
Itulah sebabnya, politik harus diakui berperan dalam meningkatkan populasi ulama di negeri ini.
Dulu, ulama lahir dari bangku kusam pesantren-pesantren. Pesantren sebagai pabrik ulama.
Namun kini, keulamaan lahir dari keperluan ekonomi-politik oknum yang tak pernah cukup.
Maka dimana ada politisi, disitu tersertakan ulama. Entah itu ulama kitab kuning, entah itu ulama yang tak pandai mendaras kitab kuning.
Mungkin fenomena menjamurnya ulama ditengah politik yang runyam ini tak cukup dinilai sebagai populisme kanan yang tak luntur-luntur itu.
Atau dianggap sebagai bentuk kegagalan MUI mencetak ulama. Mungkin itu tak cukup.
Sebab diranah lain, keulamaan terbit dari resistensi warga pada politik yang runyam tanpa faedah positif bagi umat.
Politik runyam ini sesungguhnya adalah penindasan nyata.
Sejarah mencatat ketertindasan dan ketertindisan dimana-mana memunculkan perlawanan dengan beragam bentuknya. Kita lantas muak dengan itu semua.
Barangkali kita lupa, bahwa vaksin mulai memuakkan, minyak goreng itu licin, solar itu panas, gas itu dingin tetapi melahirkan api.
Sampai kapan rakyat mampu bertahan terinjak-injak?
Dan barangkali kita lupa pula bila ulama itu pewaris nabi.
Sampai kapan ulama bergandengan tangan dengan umara yang berlatar belakang ganda (umara sekaligus politisi) ?
Sampai kapan mereka membiarkan rakyat terinjak-injak? Pandanglah langit, siapa tahu esok minyak goreng dan solar turun dari sana.