Dia mengatakan, bahwa dari tahun 1999 setelah diadakannya referendum, hingga saat ini, dia tetap menjadi pengungsi karena statusnya tidak jelas.
Dia tidak memiliki lahan untuk digarap dan tidak memiliki apa-apa untuk anak cucunya kelak keluar dari penderitaan yang dirasakannya selama ini.
Sebagai ketua RT, dia sudah meminta kepada pemerintah melalui lembaga terkait, untuk bagaimana caranya mengulurkan tangan agar mereka bisa keluar dari penderitaan ini.
“Kami sebenarnya salah pilih pada tahun 1999 itu,” kata Simenes.
Dia mengatakan kalau dia pro-kemerdekaan, itu karena merasa bahwa Timor Timur adalah tanah kelahirannya meskipun mereka harus menderita.
Tetapi bila pro-integrasi, kenapa sampai saat ini pemerintah Indonesia tidak serius memperhatikan kehidupan para pengungsi yang sudah memilih ikut Indonesia.
Bahkan sudah 13 tahun para pengungsi itu masih menderita.
Sejak tahun 1999 itu bantuan dari pemerintah sudah tutup, bahkan sejak 2002 pengungsi Timor Timur sudah diakhiri.
Menurut Simenes, seandainya pengungsi Timor Timur sudah diakhirnya, seharusnya difasilitasi, baik air, ataupun jalan yang lebih baik.
Tetapi sampai saat ini mereka merasa tidak difasilitasi, sampai saat ini mereka tetaplah menjadi pengungsi.
Sedangkan Fransisco Raga, seorang anggota TNI AD, mengatakan, mengungsi dari Timor Timur sejak 14 Oktober 1999, karena perang politik.
“Kami cinta Merah Putih, cinta tanah air Indonesia,” kata Fransisco.
Menurutnya, dia memilih hidup mati di sini, di bumi Indonesia, tetapi sayangnya pemerintah tidak menghiraukan, tidak peduli lagi.
“Ketika butuh tenaga……. Tetapi ketika salah sedikit saja, kami tidak dihiraukan,” katanya lagi.
Dia menyatakan ingin pulang ke Timor Leste, tetapi tidak bisa karena di sana.