Abdul Karim
Pegiat Majelis Demokrasi dan Humaniora (MDH) Sulsel
BARANGKALI anjing adalah satu di antara binatang lainnya yang penurut pada tuannya.
Anjing tak pernah mengkhianati tuannya.
Kecuali ia gila, anjing tak berani kurang ajar pada tuannya.
Jangankan anjing, manusia pun bila gila terkadang mengancam keluarganya sendiri.
Lalu apa jadinya bila anjing gila berjumpa orang gila?
Sampai gila kita membayangkannya, barangkali langka kita menemukan fenomena begitu.
Tetapi di kampung saya, anjing gila pernah memangsa seorang petani berumur, lantas gila hingga wafat.
Pada siang naas itu, betisnya digigit seekor anjing gila betina.
Saat itu, kesehatan gratis belum gratis sepersen pun.
Bila rakyat sakit, tak boleh gratis.
Keluarga korban mengatasinya sesuai kemampuan alami yang diketahuinya.
Namun tiada perubahan signifikan.
Malah kian parah.
Sang korban saban hari menggonggong bagai anjing melihat setan.
Sebagaimana anjing yang takut pada air, sang korban pun ketakutan saat disuguhkan air, terutama air minum.
Beberapa bulan kemudian, ia wafat tanpa gonggongan lagi, tanpa suara lagi.
Di sini anjing cukup berbahaya.
Mengancam jiwa dan raga.
Selain itu kita paham anjing begitu menjijikkan dan menyeramkan.
Dalam Islam, anjing tak sama perlakuannya dengan binatang lainnya.
Air liur anjing tergolong najis serius dalam Islam.
Begitu seriusnya, liur anjing yang mengenai badan kita tak bisa disebut bersih hanya dengan menyemprotkan disinfektan atau alkohol.
Ia lebih berbahaya dibanding virus corona bukan?
Pantaslah pula rekan saya begitu takut pada anjing.
Padahal, tubuhnya jauh lebih padat dibanding anjing apapun.
Rekan saya yang lain menganggap anjing sebagai binatang rendah derajatnya.
Dan karena itu--katanya, menyebut manusia dengan kata "anjing" dianggap sebagai ujaran senonoh, tergolong perilaku tak berbudaya.
"Ingin selamat dari pergaulan hari-hari, hindarilah kata "anjing"," katanya.
Tetapi anjing tetaplah punya harga diri.
Ia tetap binatang berharga bagi manusia, entah untuk sekedar menyalurkan hobi pada hewan ini, entah untuk mengejar pencuri, entah untuk melacak dan mengejar manusia pelaku kejahatan.
Rekan saya, pernah mengisahkan bagaimana pamannya yang seorang pengusaha kaya disebuah kota keranjingan pada ayam ketawa--rela mengeluarkan uang jumbo hanya untuk membeli anjing garang di luar negeri.
Pamannya ke Eropa membeli sepasang anjing jenis Doberman.
Tujuannya, anjing itu kelak menjaga puluhan ekor ayam ketawa miliknya dari tangan jahil pencuri.
Beberapa tahun kemudian sepasang Doberman itu beranak pinak hingga delapan ekor.
Di suatu malam naas, jelang dini hari, dua orang maling berusaha mencuri ayam ketawa paman rekan saya.
Seorang di antaranya, tewas digigit oleh delapan ekor si Doberman, seorang lainnya selamat dari keganasan anjing ras Eropa itu.
Di situ, anjing efektif menjaga puluhan ayam ketawa, tetapi kejam pada manusia maling.
Anjing di sini berguna, sekaligus berbahaya.
Daya guna anjing untuk menangkap atau melacak pelaku kejahatan juga disadari oleh Polri.
Mereka punya mitra kerja dari bangsa anjing yang akrab disebut "anjing pelacak".
Fungsinya, anjing-anjing pelacak inilah yang melacak pelaku kejahatan yang berlalu.
Dan barangkali perlu mempertimbangkan pentingnya anjing untuk membersihkan negeri ini dari pelaku kejahatan; entah itu kejahatan di lapis bawah, entah itu kejahatan elit kelas atas--seperti korupsi misalnya.
Karena itu, kita tak boleh membenci anjing secara kaffah, bagaimanapun juga anjing punya guna.
Dalam hikayat Ashabul Kahfi, Allah SWT mentakdirkan seekor anjing turut menyertai tujuh pemuda mulia Ashabul Kahfi bersembunyi dalam gua, demi menghindari seorang raja dzalim bernama Diqyanius.
Kitab suci Al Quran menyebut anjing itu dalam Surat Al Kahfi.
Dan konon, penyair sufi tersohor, Jalaluddin Rumi di suatu hari memberi makan kepada tiga ekor anjing yang kelaparan.
Orang-orang yang lewat bertanya kepadanya, “Siapa anjing yang kau beri makan itu?
” Rumi menjawab, “Itu adalah aku….”(*)
Tulisan ini juga telah diterbitkan di harian Tribun Timur edisi, Rabu, 24 Februari 2021.