TRIBUN-TIMUR.COM MAKASSAR - Kasus Edhy Prabowo, Ketua Gerindra Sulsel Andi Iwan Aras: Terlalu Negatif Jika Disebut Terlibat.
Ketua Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Sulsel, Andi Iwan Aras (AIA), meminta partainya tidak dikait-kaitkan dengan dugaan korupsi ekspor lobster.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Edhy Prabowo, enam orang lainnya sebagai tersangka.
Edhy menyatakan mundur dari jabatan menteri dan kader Partai Gerindra. Terakhir, Edhy menjabat Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra.
Sementara pengurus DPP Partai Golkar, Eka Sastra, berharap ekspor lobster tetap dilanjutkan karena sangat membantu nelayan.
AIA dan Eka dikaitkan dengan ekspor lobster. Keduanya menjadi komisaris di PT Maradeka Karya Semesta, salah satu perusahaan yang mendapat izin ekspor lobster.
Bisnis Maradeka
AIA menyampaikan pernyataan resmi ke Tribun, Kamis (26/11/2020) siang, setelah Edhy ditetapkan tersangka.
Dia menegaskan, PT Maradeka Karya Semesta hanya satu dari puluhan perusahaan yang mendapat izin ekspor lobster.
“Bahasa terlibat sebenarnya pengertiannya agak negatif,” ujar AIA yang juga Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sulsel itu.
Bahasa yang lebih tepat sebenarnya, kata AIA, PT Maradeka Karya Semesta adalah perusahaan yang mendapatkan ijin ekspor benih lobster dari puluhan perusahaan yang ada.
“Saya kebetulan sebagai Komisaris Utama di situ bersama Eka Sastra. Kami bukan direksi yang mengelola perusahaan,” ujar AIA.
Edhy ditangkap bersama istri dan sejumlah pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan sepulangnya dari kunjungan kerja di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat.
Total pihak yang diamankan KPK berjumlah 17 orang, termasuk sejumlah pihak lain di Jakarta dan Depok.
Eka menyatakan, penangkapan itu adalah wewenang aparat penegak hukum.
"Bisnis Maradeka clear and clean, tanpa ada sanksi, terdata dengan baik," tegas Eka
Mantan anggota Fraksi Golkar DPR RI itu berharap Edhy diberikan yang terbaik selama menjalani proses hukum di komisi antirasuah itu.
"Pertama kita doakan yang terbaik untuk Pak Menteri, tapi kita juga hormati proses hukum yang berjalan," ujar Eka.
Dia berharap kebijakan ekspor benur lobster keluar negeri tetap dibuka ke depan.
"Harapan kita agar tetap dibuka ekspor ini, karena lagi bagus harga," tandas Wakil Bendahara Umum DPP Partai Golkar 2004-2019 itu.
Eka mengakui, dibanding dikirim keluar negeri, benur lobster itu sebaiknya dibesarkan dulu sebelum dijual.
Hanya saja, Eka menilai pemeliharaan lobster membutuhkan modal, teknologi, serta sumber daya manusia (SDM).
"Paling bagus semua benur yang lahir kita besarkan dalam negeri. Itu paling bagus. Cuman problem kita adalah modal, teknologi, dan SDM, sehingga tidak bisa kita besarkan semua. Kalau tidak kita ekspor, maka itu akan mati sendiri di lautan," jelas Eka.
Serahkan Diri
Dua tersangka buron kasus dugaan suap perizinan ekspor benih lobster atau benur telah menyerahkan diri ke KPK.
Keduanya adalah staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Andreau Pribadi Misanta (APM) dan pihak swasta Amiril Mukminin (AM).
"Siang ini (kemarin) sekira pukul 12.00 kedua tersangka APM selaku staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan yang juga bertindak selaku Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster pada Kementerian KP, dan AM (swasta) secara kooperatif telah menyerahkan diri dan menghadap penyidik KPK," kata Plt Juru Bicara Penindakan KPK Ali Fikri , Kamis (26/11).
Ali mengatakan saat ini kedua tersangka sedang menjalani pemeriksaan oleh penyidik.
"Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi menerima suap terkait perizinan tambak, usaha dan atau pegelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020," kata Ali.
Ali mengatakan setelah menjalani pemeriksaan, penyidik akan melakukan upaya paksa penahanan terhadap kedua tersangka menyusul lima orang tersangka lainnya pasca penangkapan pada Rabu dini hari kemarin.
KPK dalam perkara ini menetapkan Edhy Prabowo sebagai tersangka karena diduga menerima suap dari perusahaan-perusahaan yang mendapat penetapan izin ekspor benih lobster menggunakan perusahaan forwarder dan ditampung dalam satu rekening hingga mencapai Rp9,8 miliar.
PT Aero Citra Kargo diduga menerima uang dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster karena ekspor hanya dapat dilakukan melalui perusahaan tersebut dengan biaya angkut Rp1.800 per ekor.
Uang yang masuk ke rekening PT Aero Cipta Karya yang saat ini jadi penyedia jasa kargo satu-satunya untuk ekspor benih lobster itu selanjutnya ditarik ke rekening pemegang PT ACK yaitu Ahmad Bahtiar dan Amiril Mukminin senilai total Rp9,8 miliar.
Selanjutnya, Ahmad Bahtiar mentransfer ke rekening staf istri Edhy bernama Ainul Faqih sebesar Rp3,4 miliar.
Uang Rp3,4 miliar itu diperuntukkan bagi keperluan Edhy Prabowo, Iis Rosyati Dewi selaku istri Edhy, Safri dan Andreau Pribadi Misanta antara lain dipergunakan untuk belanja barang mewah oleh Edhy dan Iis di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat.
Belanja tersebut dilakukan pada 21 sampai dengan 23 November 2020. Sekira Rp750 juta di antaranya terpakai untuk membeli jam tangan rolex, tas Tumi dan LV, baju Old Navy.
Selain Edhy, KPK menetapkan enam tersangka lain, yaitu staf khusus Menteri KKP Safri dan Andreau Pribadi Misata, pengurus PT Aero Citra Kargo Siswadi, staf istri Menteri Kelautan dan Perikanan Ainul Faqih, Direktur PT Dua Putra Perkasa Suharjito, serta seorang pihak swasta bernama Amiril Mukminin.
Keenam tersangka penerima disangkakan Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan tersangka pemberi disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Ahmad Basarah menyatakan Andreau Misanta adalah anggota partai yang pernah menjadi Caleg DPR RI yang diusung pada Pemilu 2019.
Namun usai pencalonan yang gagal itu, yang bersangkutan sudah tidak aktif lagi di partai.
"Saya mengetahui saudara Andreau sudah menjadi staf ahli Menteri Eddy Prabowo yang Waketum Partai Gerindra justru setelah ada kasus OTT KPK ini," kata Basarah.
"Karena keberadaan saudara Andreau sebagai staf ahli Menteri KKP adalah keputusan pribadi yang bersangkutan, maka segala bentuk perilaku dan tindak tanduknya sama sekali tidak berkaitan dengan PDI Perjuangan," terang Basarah yang juga Wakil Ketua MPR ini.
Basarah menambahkan bahwa jika terbukti Andreau terlibat dalam dugaan kasus korupsi di lingkungan kementerian KKP tersebut maka partai akan memberikan sanksi yang tegas kepada yang bersangkutan.
"Tentu sanksi tegas akan diberikan," kata Basarah.
Kemarin, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan surat edaran tentang penghentian sementara penerbitan surat penetapan waktu pengeluaran (SPWP) ekspor benih lobster atau benur.Hal ini dalam rangka memperbaiki tata kelola pengelolaan benih bening lobster (BBL) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020.
Regulasi tersebut mengatur pengelolaan hasil perikanan seperti lobster (Panulirus spp.), kepiting (Scylla spp), dan rajungan (Portunus spp).
“Bagi perusahaan eksportir yang memiliki BBL dan masih tersimpan di packing house per tanggal surat edaran ini ditetapkan, diberikan kesempatan untuk mengeluarkan BBL dari Negata Republik Indonesia paling lambat satu hari setelah surat edaran ditetapkan,” jelas Plt. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Muhammad Zaini dalam suratnya.
Dia menekankan penerbitan SPWP dihentikan hingga batas waktu yang tidak ditentukan.
Dalam rangka efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi KKP, Menteri Sekretaris Negara sesuai arahan Presiden Joko Widodo, telah mengeluarkan surat tertanggal 25 November 2020 yang berisi penunjukan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Ad Interim.
Penugasan ini berlaku hingga ditetapkannya Pelaksana Harian (Plh.) Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Keputusan Presiden.(*)