TRIBUN-TIMUR.COM - Tak selamanya pandemi corona memiliki nilai negatif.
Ternyata ada juga Sisi Positif Pandemi Corona di dua negara bertetangga di Afrika.
• Bak Kena Sihir Semalam, Wajah Gadis 27 Tahun Ini Berubah Keriput Kayak Nenek 60 Tahun, Ini Sebabnya?
• Kaya Raya Pria Ini Dikelilingi Wanita Cantik, Istri Sah Dicerai Pilih Selir, Tua Hidup Mengenaskan
Perang selama 17 Tahun di negara tersebut berhenti, padahal sebelumnya sebabkan ratusan ribu warga kelaparan.
Dunia boleh bersitegang dan kian kacau akibat banyak konflik di berbagai negara.
Namun di mana ada perpecahan, pasti juga ada perdamaian.
Seperti yang terjadi di Benua Afrika ini.
Mengutip Al Jazeera, konflik 17 tahun di Sudan kemungkinan bisa berakhir setelah ada kesepakatan ini.
Konflik di Sudan, yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan antara pemerintah dan sekutu pemberontak.
• Begini Alasan TNI AU Pindah Alutsista Pesawat Tempur dari Amerika Serikat ke Rusia? Jawabannya Keren
• 3 Presiden Indonesia dari Soeharto, SBY, dan Jokowi, Ternyata Sama-sama Gunakan Ajudan Lakukan Ini?
Namun konflik keduanya resmi berakhir seperti dikabarkan dari agensi berita SUNA hari Minggu (30/8/2020) lalu.
Kelompok pemberontak Front Revolusi Sudan (SRF) yang berasal dari wilayah barat Darfur.
Lalu lawannya provinsi di selatan bernama Kordofan Selatan dan Nil Biru telah menandatangani perjanjian dengan pemerintah Sabtu malam.
Selanjutnya upacara penandatanganan formal dilaksanakan Senin di Juba, ibukota Sudan Selatan.
Sudan Selatan telah berperan menengahi dan melakukan mediasi pembicaraan jangka panjang sejak akhir tahun 2019.
Pejabat senior pemerintah dan pemimpin kelompok pemberontak disebutkan,
• Penampilan Aurel Hermansyah Berubah Drastis, Deddy Corbuzier Sebut Operasi Plastik & Kecilnya Jelek
• 4 Bulan Sekolah Ditutup, Tiba-tiba Ruang Kelas Siswa Jadi Kandang Ayam, Begini Alasan Pihak Sekolah?
"menandatangani protokol asli mereka terkait penyusunan keamanan" dan isu lainnya Sabtu malam tersebut.
Namun, dua gerakan pemberontak menolak sebagian dari kesepakatan tersebut.
Mereka adalah faksi Gerakan Liberal Sudan yang dipimpin oleh Abdul Wahid al-Nur.
Dan sayap dari Gerakan Liberal Warga Sudan Utara (SPLM-N) yang dikepalai oleh Abdelaziz al-Hilu.
Isi kesepakatan
Kesepakatan final mengulas isu terkait keamanan, kepemilikan lahan, pengadilan transisi, pembagian kekuasaan.
Dan pemulangan orang-orang yang pergi dari kampung halaman mereka akibat perang.
Kesepakatan itu juga menyediakan pembongkaran pasukan pemberontak dan masuknya prajurit mereka ke tentara nasional.
Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok dan beberapa menteri lain terbang ke Juba pada Minggu kemarin.
Mereka datang untuk bertemu Presiden Sudan Selatan Salva Kiir.
Hamdok mengatakan perjanjian itu jauh lebih lama dari yang diharapkan sejak September 2019 lalu.
"Pada deklarasi Juba September kemarin, semua orang mengharapkan perdamaian ditandatangani dalam dua atau tiga bulan,
"Tapi...kami sadar jika banyak hal rumit menyertainya," ujar Hamdok.
"Meski begitu, kami bisa mencapai kinerja yang bagus, dan itu adalah dimulainya perdamaian di Sudan."
Pasukan pemberontak awalnya terbentuk melawan apa yang mereka sebut marginalisasi ekonomi dan politik oleh pemerintah di Khartoum.
Sebagian besar dari mereka adalah minoritas non-Arab yang lama geram terhadap dominasi Arab di penerus pemerintahan di Khartoum, termasuk Omar al-Bashir.
Tercatat sudah ada 300 ribu orang telah terbunuh di Darfur sejak pemberontak mulai melawan tahun 2003, seperti yang dikutip dari catatan PBB.
Konflik di Kordofan Selatan dan Nil Biru merebak sejak 2011,
mengikuti isu yang tidak terselesaikan dari perang sipil Sudan 1983-2005.
Mendesak perdamaian dengan para pemberontak adalah isu utama yang selalu dihadapi saat pergantian pemerintah.
Terutama beberapa bulan setelah mundurnya Bashir di April 2019 karena protes massa melawan pemerintahannya.
Perdamaian sebelumnya yang telah tercatat di Sudan,
termasuk satu yang ditandatangani di Nigeria tahun 2006 dan di Qatar 2010 telah gugur. (*)
Artikel ini telah tayang di Intisari-online.com dengan Judul "Walau Dunia Sedang Gonjang-ganjing, Banyak Juga Kemungkinan Perdamaian, Salah Satunya Perang Berdarah-darah Terpanjang di Afrika Ini, Mengapa?"