TRIBUN-TIMUR.COM- Kehidupan pribadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim jarang terkekspose di media massa.
Diketahui Nadiem Makarim memiliki anak perempuan bernama Solara Franklin Makarim.
Foto-foto Solara Franklin Makarim sempat beredar pada 2018 lalu saat Nadiem Makarim dan Franka Franklin menggelar acara Tedak Sinten bagi sang putri.
Rupanya Nadiem Makarim dan sang istri Franka Franklin tak hanya memiliki satu orang putri, akan tetapi masih memiliki dua anak lainnya.
Hal tersebut diungkapkan Nadiem Makarim saat live bersama Deddy Corbuzier di Instagram beberapa waktu lalu.
Saat itu Deddy Corbuzier menanyakan kepada Nadiem Makarim, apakah anak-anaknya juga menjalani belajar online selama Pandemi Covid-19.
"Bro, anak-anak Anda suka nggak belajar online,"tanya Deddy.
"Jadi saya punya anak umur tiga (tahun), punya anak umur dua (tahun), sama saya punya anak empat bulan,"jawab Nadiem.
Nadiem menyebut anak pertama dan keduanya juga sudah menjalani belajar online sejak pandemi.
Ia pun mengakui sulitnya anak seusia mereka mengikuti pelajaran.
"Umur tiga dan dua sebenarnya sudah ada kelas onlinenya. Tapi, sangat sulit untuk semuda itu melakukan online. Jadinya ya beban mengajar mereka ada di saya dan istri saya,"kata Nadiem.
Saat mengajar anak-anaknya, Nadiem rupanya menekankan pentingnya literasi.
"Saya paling tidak sehari itu dua tiga buku saya bacakan ke dia. Lalu kita main game-game. Jadi kurikulum saya ini dari buku-buku,"jelas Nadiem.
Sejak pandemi Covid-19, Nadiem Makarim mengakui kegiatan sehari-harinya dipenuhi berbagai aktivitas sebagai menteri ditambah menemani anak-anaknya belajar.
"Bayangin saya full time menteri, tapi karena work from home, juga full time ayah,"ujar Nadiem.
Ia pun merasakan penuh beban pembelajaran jarak jauh bagi orangtua.
Jaga Privasi Anak
Dalam live Instagram tersebut, Nadiem Makarim juga mengungkapkan meski menjabat sebagai menteri, ia tetap menjaga privasi dari anak-anaknya.
Deddy Corbuzier menanyakan, apakah kehidupan pribadi Nadiem Makarim di rumah bersama keluarga akan dipublish di Instagram.
Seperti diketahui setelah lama tidak memiliki akun di media sosial, Nadiem Makarim akhirnya membuat akun di Instagram @nadiemmakarim sejak 17 Agustsu 2020 lalu.
"Kalau anak-anak saya, sudah pasti nggak. Mungkin kadang-kadang ada istri saya karena ya memang istri saya terlibat di seluruh kehidupan saya. Tapi kalau anak-anak, itu kehidupan anak-anak saya karena mereka belum bisa memberi ijin ke saya, saya harus menghormati hak privasi mereka,"jelasnya.
Ayah dan Kakek Nadiem Makarim Bukan Orang Sembarang
Ayah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bukanlah orang biasa.
Mendikbud Nadiem Makarim adalah anak dari Nono Anwar Makarim.
Nono Anwar Makarim adalah seorang praktisi hukum asal Indonesia yang juga merupakan penulis buku di berbagai media massa nasional.
Dikutip dari tribunnewswiki.com, pada tahun 1958, Nono Anwar Makarim menjadi pimpinan di sebuah redaksi Harian Kami hingga tahun 1974.
Nono Anwar Makarim mendirikan sebuah kantor hukum bernama Makarim & Tiara S.
Tak hanya berkarier di bidang hukum, Nono Anwar Makarim juga aktif di berbagai organisasi sosial.
Nono Anwar Makarim mendirikan beberapa yayasan, antara lain Yayasan Bambu Indonesia, Yayasan Biodiversitas Indonesia, dan Yayasan Aksara.
Tahun 1994, Nono Anwar Makarim juga pernah ditunjuk sebagai anggota delegasi Indonesia ke Putaran Uruguay.
Nono Anwar Makarim juga menjabat sebagai salah satu anggota komite etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Perintis Kemerdekaan
Tak hanya ayahnya, kakek Nadiem Makarim dari keluarga ibunya juga tak kalah hebatnya.
Ibu Nadiem Makarim, Atika Algadri adalah putri Hamid Algadri yang merupakan seorang pejuang perintis kemerdekaan Indonesia.
Dikutip dari Wikipedia, Hamid Algadri menjadi sosok yang berjasa dalam perundingan Linggarjati, perundingan Renville, hingga Konferensi Meja Bundar.
Tak hanya itu, Hamid Algadri juga adalah salah satu anggota parlemen pada masa awal berdirinya negara Republik Indonesia.
Hamid Algadri lahir di Pasuruan, 10 Juli 1912 akan tetapi sebenarnya dia dua tahun lebih tua, agar ia dapat dimasukkan ke sekolah dasar Belanda Europesche Lag School oleh ayahnya karena persyaratan umur.
Ayahnya Kapitein der Arabieren (Kepala masyarakat Arab) di Pasuruan, suatu kedudukan dalam tata kolonial, setara dengan Kapitein der Chinezen (Kepala Masyarakat Tionghoa).
Saat itu pemerintah Hindia Belanda meggolongkan penduduk di Indonesia sebagai orang Eropa (Europeanen),
Hamid Algadri menurut silsilah ayah berasal dari tanah Hadramaut di jazirah Arab dan dari garis keturunan ibu dari Malabar, India.
Ia menempuh pendidikan formal sekolah dasar ELS, sekolah menengah MULO dan AMS-A bagian klasik Barat, dan tahun 1936 sebagao mahasiswa Rechts Hoge School (Pendidikan Tinggi Hukum) di Batavia. Ia merupakan keturunan Arab pertama yang menuntut pelajaran di universitas.
Selagi mahasiswa dia bergabung dengan Persatuan Arab Indonesia (PAI) yang didirikan tahun 1934 oleh AR Baswedan (Menteri Muda Penerangan 1946-47).
Dengan PAI sebagai wadah, orang Arab ingin menjadi orang Indonesia dan menerima Sumpah Pemuda tahun 1928 yaitu satu Tanah Air, satu bangsa, satu bahasa ialah Indonesia.
Kemudian PAI menjelma sebagai parpol dan sebagai Partai Arab Indonesia bersikap Co (koperator atau kerja sama) terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Karier Politik
Kemudian, Hamid Algadri yang bekerja di Sekretariat Perdana Menteri dan sempat menemani rombongan rombongan PM Sjahrir di dalam KLB (Kereta Api Luar Biasa) dari Jakarta ke Yogyakarta akhir 1945.
Dalam KLB ikut pejabat tinggi RI seperti Prof. Djokosutono, Margono Djojohadikusumo, Didi Kartasasmita.
Ia lalu pindah pada Kementerian Luar Negeri, seterusnya sebagai Sekretaris Kementerian Penerangan sambil sekaligus jadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Ketika Sjahrir jadi ketua badan Pekerja KNIP, Hamid dipanggilnya dari Pasuruan dan diberi tugas di Jakarta.
Sebagaimana waktu itu Soedjatmoko, Soedarpo, Soebadio Sastrosatomo disebut sebagai de jongens van Sjahrir (anak-anak Sjahrir). Hamid Algadri pun termasuk di dalamnya.
Pada masa muda, Hamid tinggal di Jalan Serang 13 Jakarta.
Hamid merupakan penasihat delegasi Indonesia dalam Perundingan Linggarjati dan Renville sehingga mengetahui informasi intern yang dapat dipakai oleh penulis dalam pekerjaannya sebagai komentator politik.
Setelah pemilu 1955 ia menjadi ketua fraksi Partai Sosialis Indonesia (PSI) dalam Konstituante yang bersidang di Bandung menyusun konstitusi baru.
Di sana dia menyuarakan sikap politik PSI yaitu tidak menyetujui pembentukan negara Islam di Indonesia dan setelah pembicaraan gagal dalam sidang Konstituante menyatakan setuju kembali ke UUD 1945 sebagai jalan alternatif mengatasi kemelut. Konstituante dibubarkan dan Presiden Soekarno mendekritkan kembali ke UUD 1945.
Bantu Kemerdekaan Tunisia dan Aljazair
Salah satu kegiatan Hamid ketika menjadi anggota parlemen ialah menjadi Sekjen Panitia Pembantu Perjuangan Kemerdekaan Tunisia dan Aljazair.
Hamid diakui jasanya oleh negara-negara Afrika Utara dan memperoleh bintang kehormatan dari Republik Tunisia dan Aljazair.
Di dalam negeri dia dianugerahi Satya Lencana 1978 dan diakui sebagai Perintis Kemerdekaan. Setelah tiada lagi jadi anggota parlemen, dia aktif di bidang sosial, misalnya menjadi direktur Yayasan Dana Bantuan.
Meskipun bukan Kapitein der Arabieren seperti ayahnya, dia diakui secara tak resmi dalam lingkungan keturunan Arab sebagai "kepala suku". Pendapatnya sering diminta sebagai diterima sebagai pendapat "kepala suku" layaknya, termasuk oleh Presiden Soeharto.
Hamid Algadri pun meninggal dunia pada 25 Januari 1998 karena menderita kerapuhan tulang dan radang paru-paru.
Ia dikuburkan di pemakaman Tanah Kusir, Jakarta.(*)
(tribun-timur.com/tribunnewswiki.com)