Update Corona Makassar

Rawat Pasien Covid-19, Dokter Sugih Wibowo Hanya Bisa Menangis Saat Tahu Anaknya Sakit

Penulis: Andi Muhammad Ikhsan WR
Editor: Suryana Anas
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

dr Sugih Wibowo yang bertugas sebagai penanggung jawab pasien Covid-19 di Hotel Harper Makassar, Sulawesi Selatan

TRIBUNMAROS.COM, TURIKALE - dr Sugih Wibowo yang bertugas sebagai penanggung jawab pasien Covid-19 di Hotel Harper Makassar, Sulawesi Selatan, hanya bisa menangis ketika mendengar kabar bahwa putranya yang baru berumur 3 bulan, demam usai imuniasai.

Ia hanya bisa melihat kondisi anaknya melalui panggilan video.

"Anak saya sakit, dan saya hanya bisa menengoknya melalui panggilan video, sambil mendoakannya sembuh," ujarnya, Jumat (3/7/2020).

Tugasnya menjaga 190 orang pasien Covid-19 yang diisolasi di hotel Harper, membuatnya harus menahan rindu dengan anak dan istrinya di rumah yang ia tinggalkan sejak 25 Mei 2020.

"Sudah 6 minggu saya di sini ditugaskan sebagai penanggung jawab medis. Paling berat memang menahan rindu, apalagi ke anak yang baru tiga bulan," jelasnya

Walau meresa kecewa karena ditugaskan hanya seorang diri sebagai dokter di hotel itu, raut wajahnya tidak sedikitpun menunjukkan rasa lelah, terlebih di depan pasien.

Setiap hari selama 24 jam, ia bersama tiga perawat, siap siaga menerima keluhan dari 190 pasien isolasi yang berasal dari 24 Kabupaten di Sulsel.

Bahkan dirinya hampir tidak punya waktu istirahat, karena harus tetap terjaga mengawasi pasien.

"Kalau di hotel lain itu dokternya bisa tiga orang, itupun mereka bergantian. Saya di sini sendirian. Perawat yang temani saya itu tiga orang, tapi mereka juga bergantian ditugaskan. Jadi saya hanya tidur paling lama 4 jam sehari," katanya

Menjaga pasien positif Covid-19 yang tergolong Orang Tanpa Gejala (OTG) bukanlah perkara mudah.

Banyak dari mereka yang secara psikis tidak terima kenyataan hingga ada yang sampai mencoba bunuh diri.

"Tiap hari itu, ada sekitar 300 chat di HP saya dari peserta yang harus saya balas satu-satu. Kalau ada emergency, baru saya ke kamar mereka pakai baju hazmat. Ada yang sampai bunuh diri waktu itu," ungkapnya

Kondisi itu sebenarnya, telah ia keluhkan ke Dinas Kesehatan (Dinkes) Maros yang menugaskannya.

Alih-alih didengarkan, justru ia mendapatkan respon yang membuatnya kecewa.

Bahkan, tanpa sepengetahuannya, surat tugas ketiga di tempat itu kembali ia terima.

Awalnya ia mengaku tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya saat akan bertugas, tapi karena ia merasa terpanggil, maka ia pun bersedia mengajukan diri sebagai relawan.

Dirinya pun hanya bisa pasrah kepada Tuhan, karena menurutnya pekerjaan sebagai dokter adalah tanggung jawab kemanusiaan.

"Awalnya saya yang minta ditugaskan karena merasa terpanggil. Di surat tugas ketiga saya itu, saya sebenarnya sudah mau pulang. Tapi saya tidak mau langgar sumpah saya sebagai dokter, tetap saya lanjutkan," bebernya

Ia juga mengaku kecewa karena selama hampir 6 pekan bertugas, insentif yang dijanjikan dari Dinkes, belum ia terima. Bahkan saat ia meminta, dirinya hanya diminta bersabar.

"Mungkin saya bisa terima hal itu, tapi istri di rumah bagaimana. Sudah sering dia pertanyakan, saya hanya bisa jawab, sabar. Karena itu juga yang disampaikan ke saya. Tapi kan sabar ini tidak bisa dipakai beli susu kan," ucapanya sambil tertawa.

Laporan Tribunmaros.com, M Ikhsan

Berita Terkini