Diskusi Covid SSB

Diskusi Covid SSB #1: Pemprov, Kalian Tidak Mampu Hadapi Corona Sendiri, Maka Mendengarlah!

Editor: AS Kambie
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Group WhatsApp Senter-senter Bella

 TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR – Belasan akademisi dan praktisi terlibat masih terlibat diskusi sengit Grop WhatsApp Senter-senter Bella (SBB), Senin (15/6/2020) pagi ini.

Mereka terlibat silang pendapat tentang kebijakan pemerintah di tengah pandemi Covid-19. Ada yang menolak keras pemberlakuan New Normal, maka menilai hal ini sama sekali tidak berdasar. Ada juga yang sepakat sudah saatnya warga keluar rumah.

Tetapi mereka sepakat bahwa pemerintah tidak boleh membiarkan warga keluar rumah dan membiarkan warga tersesat di tengah virus corona yang makin mengganas. Mereka sepakat warga dibiarkan keluar rumah dengan catatan “pemerintah harus memastikan mereka yang keluar rumah itu aman dari sergapan corona karena melaksanakan protokol kesehatan”.

 Seperti kebiasaan para tokoh itu, diskusi dimulai usai Salat Subuh. Sebelumnya mereka sepakat tidur lebih awal untuk bangun lebih dini, terus “perang ide” di Group WhatApp. 

Group WhatsApp Senter-senter Bella (SBB) terbentuk sejak 5 Oktober 2015. Awalnya kehadirannya Group ini dihuni hingga sua ratus lebih akademisi dan aktivis. Hingga Senin (15/6/2020) pagi ini, warga SSB tersisa 81 orang. Admin Group masih dipegang Syamsul Bachri Sirajuddin Daeng Ancu, Herman Syah Edi, dan Bachrianto Bachtiar.

Peserta Diskusi Aktif

Dari belasan warga Group SSB itu, dua puluhan terlibat diskusi sengit hampir tiap hari.

Peserta utama diskusi itu du Group SBB itu adalah Pencetus Wali Wania Taslim Arifin, ekonom senior Sulsel AM Sallatu, ekonom senior Tadjuddin Parenta, Cendekiawan Muslim Prof Dr M Qasim Mathar, Guru Besar FKM Unhas Prof Dr A Razak Thaha, Guru Besar FKM Unhas Prof Dr drg Andi Zulkifli Abdullah MKes, dan Guru Besar Fisika Unhas Prof  Dr Tasrief Surungan MSc.

Juga Guru Besar Fakultas Hukum Unhas Prof Dr Aminuddin Ilmar SH MH, Guru Besar Fisipol  Unhas Prof Dr M Tahir Kasnawi, mantan Rektor Unhas Prof Basri Hasanuddin, anggota KPI Pusat Dr Aswar Hasan, mantan anggota DPR RI Abdul Hadi Djamal, Herman Syah Edi, Presiden Batu Putih Cyndicate Syamsul Bachri Sirajuddin Daeng Ancu, Ketua Pemuda Dewan Masjid Indonesia drg Arief Rosyid, dan kolumnis Yarifai Mappeaty.

Dedaunan masih basah, sebagian ayam jantan masih berkokok, ketika Prof Basri Hasanuddin memantik diskusi SSB menjelang waktu “isytiraq” pagi ini.

“Saya sependapat bahwa akan ‘trade of’ antara kebijakan relaksasi dan mortality rate. Kebijkan gagah-gagahan relaksasi hampir pasti akan berdampak pada peningkatan angka pasien positif dan pada gilirannya meningkatkan angka kematian. Benar Krugman (Paul Robin Krugman) bahwa manusia harus disehatkan dulu sebelum berekonomi secara produktif. Indonesia betul-betul ‘gambling’ dengan kebijakan yangg dipilih,” jelas Prof Basri Hasanuddin.

Paul Robin Krugman adalah ekonom Amerika Serikat. Dia penerima Penghargaan Nobel untuk bidang Ekonomi 2008 untuk teori perdagangan internasional.

Pernyataan Prof Basri Hasanuddin tersebut segera disambut oleh Taslim Arifin, “Pendapat Krugman yang diperkuat oleh Prof Dr Basri Hasanuddin sejalan juga dengan pendapat Ketua DMI Jusuf Kalla yang juga Ketua PMI RI, dan juga wakil presiden 2 kali periode sebelumnya. Jadi relaksasi belum saatnya.”

DIskusi ini masih berlanjut. Sembari menunggu kesimpulan dan rekomendasi, seperti kebiasaan diskusi SSB, yang dilaporkan oleh Juru Tulis SSB Yarifai Mappeaty, berita ini akan kembali ke diskusi SSB sehari sebelumnya.

Diskusi sehari sebelumnya bermula dari berita yang dilansir oleh Tribun-Timur.com (12/6/2020, bahwa penyebaran covid di Sulsel mencapai rekor baru dengan mengalahkan Jabar dan DKI Jakarta.

Hal itu diperparah oleh cara menyikapi dan merespon situasi yang cenderung saling menyalahkan. Bahkan, lebih parah lagi ketika kegiatan testing yang lebih gencar dilakukan oleh para tenaga medis, disebut sebagai penyebab tercapainya rekor tersebut.

Lantas timbul pertanyaan, mengapa para pemimpin seolah kehilangan kreatifitas, terobosan, fokus, dan stamina, dalam menghadapi semua ini? Padahal, mereka seharusnya yang paling sensitif terhadap situasi yang terjadi. Inilah yang memantik diskusi selama berjam-jam, mulai sejak setelah Subuh sampai jelang Dzhuhur.

“Rumusan dan rekomendasi diskusi sehari sebelumnya itu juga sudah disampaikan ke Gubernur Sulsel dan Wali Kota Makassar,” ujar Syamsul Bachri Sirajuddin Daeng Ancu.

“Simpulannya, Pemprov Sulsel tidak akan mempu menghadapi pandemi ini sendirian, tanpa partisipasi masyarakat. Makanya pemprov diminta berbesar hati untuk lebih mendengar dan menerima masukan dari pakar dan ahli,” jelas Yarifai Mappeaty.

Berikut simpulan dan rekomendasi Diskusi SSB #1:

Mestinya pemerintah menyadari sejak awal kalau penyebaran wabah ini mengikuti fenomena gunung es. Hasil temuan terakhir, pun, sebenarnya disinyalir under estimate.

Setidaknya, para epidemiolog dari FKM Unhas memprediksi bahwa tingkat reproduksi (RT) atau kemampuan menular covid ini di Sulsel, baru mencapai 1,5.

 Artinya, satu orang yang terpapar, dapat menulari 1 sampai 2 orang lainnya. RT  1,5 ini dinilai masih jauh dari aman. Sebab, coba bayangkan, jika terdapat 100 orang terpapar, maka, ia berpotensi menulari 100 hingga 200 orang.

 Oleh karena itu, justifikasi apa pun yang hendak dibuat untuk menjelaskan  jumlah yang sudah terkonfirmasi, yang pasti, penularan covid-19 di Sulsel, khususnya Makassar, masih tinggi.

 Artinya, upaya pencegahan dan pemutusan lingkaran penularan harus diperketat, bukan malah direlaksasi. Apalagi wacana tentang penerapan "herd immunity" oleh pemerintah, harus dihindari.

 Kita mesti belajar dari pengalaman Swedia, sebuah negara yang memiliki banyak kelebihan yang dapat mendukung penerapan herd immunity.

Swedia memiliki sistem kesehatan yang paling canggih, disiplin masyarakat paling tinggi, jumlah penduduk kecil, kondisi ekonomi yang bagus, dan masih banyak lagi idikator lain yang dapat mendukung suksesnya herd immunity yang dimaksud. Tetapi, nyatanya gagal. Hasil akhir, hanya 7.3% yang kebal, dan angka kematian terus meningkat.

 Di tengah situasi yang mencemaskan ini, ada sedikit berita baik. Ada analisis yang menyebutkan bahwa varian virus cukup berpengaruh terhadap mortalitas.

 Varian virus yang menyebar di Indonesia berbeda dengan di Benua Eropa dan Amerika, sehingga kondisi di Indonesia kita tidak seburuk dengan di negara-negara di benua tersebut.

 Analisis ini berpijak pada karatseristik pembatasan yang diterapkan di Indonesia yang dinilai  sangat longgar. Seandainya varian virusnya sama, maka, jumlah kasus dan kematian di negeri ini, akan jauh lebih besar, karena dari segi jumlah penduduk, Indonesia nomor 4, setelah China, India dan USA.

 Akibat mutasi, Indonesia kebagian varian virus yang tidak terlalu ganas. Jika dianalogikan dengan perang, meski frekuensi kontak senjata demikian tinggi, tapi karena kaliber pelurunya kecil, maka jumlah korban yang berjatuhan,  tidak separah dengan di Eropa, Amerika Serikat, dan Brasil. Tetapi kendati demikian, jangan sama sekali dipandang remeh.  Meskipun ukuran kaliber peluru yang beterbangan itu, kecil, tetapi, tetap saja bukan peluru mainan.

 Solusi dan Rekomendasi

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, tampak demikian gamang, diduga belum punya solusi alternatif yang bersifat komprehensif. Pemprov Sulsel membutuhkan bantuan, begitu simpulannya. Lalu, apa solusinya?

 Untuk meringankan beban pemerintah melaksanakan pencegahan dan pemutusan rantai penularan, masyarakat harus membantu. Tetapi syaratnya, Sulsel harus dianggap dalam keadaan darurat, siaga 1.

 Lalu, Pemprov harus mau berendah hati melibatkan para ahli yang kompeten di bidangnya masing-masing. Sebab mesti disadari bahwa dampak pandemi ini, tidak hanya pada aspek kesehatan, tetapi, juga pada aspek ekonomi dan sosial.

 Setidaknya, Pemprov Sulsel mau mencontoh Pemprov DKI yang melibatkan para epidemiolog. Selanjutnya, para ahli itu di beri ruang untuk merumuskan langkah-langkah penanganan yang diperlukan.  Pemprov tinggal melaksanakan  rumusan yang telah dibuat dengan menerapkan konsep Hankamrata.

 Diskusi ini juga mengingatkan Pemprov bahwa penggunaan rapid test secara masiv, bisa berakibat lebih fatal. Mereka yangg terdeteksi negatif akan memiliki "false sense of security". Merasa aman karena negatif, padahal sudah terinfeksi, hanya belum terdeteksi karena antibody belum terbentuk. Inilah OTG - orang tanpa gejala, yang akan menjadi sumber infeksi namun bebas berkeliaran. Oleh karena hasil rapid test masih harus dikonfirmasi dengan tes swab PCR, maka jauh lebih baik jika tes PCR dilakukan secara masiv untuk mendapatkan gambaran yang sebenarnya. (*)

Berita Terkini