Jadi, kalau kita berpikir jernih kita akan semakin rendah hati untuk mengakui orang-orang yang berjasa mengupayakan kebutuhan kita, kemudian merasa berutang budi dan berterima kasih kepada mereka.
Dari kejernihan pikiran seperti itu akan muncul penghargaan untuk memuliakan manusia, bahwa manusia akan hidup dalam pergaulan yang sempurna kalau bisa menghargai jasa orang lain kepada dirinya.
Meskipun jasa itu kecil, misalnya jasa pembuat garam. Kebutuhan kita terhadap garam dalam sehari sedikit sekali, tapi makan dengan lauk (ikan) yang tidak ada garamnya akan hambar.
Pertanyaannya, pernahkah di dalam hati kita ada rasa terima kasih kepada pembuat garam, kepada pengilang tebu, pembuat lampu listrik, pembuat telepon, sampai pembuat jarum jahit yang kecil sehingga membuat kita bisa berpakaian dan enak dipandang?
Hati yang damai akan diperoleh dengan mengakui kebesaran Allah serta banyak berdzikir kepada Allah. Upaya berdamai dengan Allah melalui shalat, dzikir, shalawat, baca Al Quran dan lain-lain akan mempengaruhi jiwa untuk berdamai dengan seluruh manusia.
Apalagi ada pesan dari Allah, "Orang-orang beriman itu bersaudara. " إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ Jadi, kalau seseorang benar-benar beriman dan berdzikir, buahnya ia tidak akan membuat penganiayaan, kekejaman, dan kekerasan yang melukai hati dan fisik manusia yang lain.
Pantaskah seseorang mengaku "saya beriman," kalau masih senang melakukan kezaliman dan kekerasan, baik kekerasan dalam rumah tangga seperti menempeleng istri, melukai tubuh anak, maupun kekerasan di luar rumah tangga berupa kerusuhan, penjarahan, randu domba dan lain-lain yang merusak tatanan kehidupan?
Setiap manusia beriman dan bertakwa punya tugas menunjukkan dirinya sebagai manusia "Khalifatullah," yaitu manusia yang berakhlak, kreatif, dan selalu tampil untuk menyenangkan orang lain dalam pergaulan. Untuk itu diperlukan tatakrama bergaul yang indah.
Misalnya, dalam berbicara mengupayakan dirinya menggunakan kata-kata yang sopan serta menyenangkan orang yang mendengarnya, serta berupaya menghindari kata-kata kotor yang menyakitkan.
Setiap kata-kata kotor diucapkan itu melambangkan hati orang yang mengucapkannya juga kotor.
Akibatnya komunikasi dan pergaulan akan terganggu sehingga suasana damai dan rukun tidak akan terjadi. Itulah perlunya rasa "ukhuwah," yaitu rasa persaudaraan yang tulus.
Dalam persaudaraan yang tulus, setiap manusia akan berupaya untuk menolong, membantu, dan membahagiakan orang lain.
Karena itu, setiap insan beriman punya tugas untuk berintrospeksi, apakah cara berkomunikasi dan cara bergaulnya bisa menyenangkan orang lain? Jika tidak, berarti kita harus semakin meningkatkan rasa taqarrub kita kepada Allah, sampai hati ini bersih dari dendam, egois, merasa benar sendiri, sombong, takabbur, yang membuat komunikasi kita dengan orang lain menjadi gagal.
Dan jika kita gagal berkomunikasi secara baik, bisa mungkin gagal sebagai manusia karena hati tidak ikhlas. Itulah pentingnya akhlak yang mulia dan hati yang tulus ikhlas.
Kebersamaan itu menjadi sesuatu yang sangat berharga dalam hidup, berbangsa dan bernegara karena manusia tidak akan bisa menyelesaikan masalah besar tanpa kebersamaan. Dalam kebersamaan, peran orang lain sangat dihargai. Orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri itu disebut "egois," yaitu sikap anti sosial.