Oleh: Aswar Hasan
Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin
Bupati Bolaang Mangondow Timur Sehan Salim Lanjar marah-marah terhadap menteri. Bahkan mengumpat sampai-sampai keluar kata-kata goblok dan ngeyel itu menteri.
Pasalnya, bantuan langsung tunai (BLT) di daerahnya tidak juga bisa mengucur karena persoalan administrasi yang dianggap belum kelar.
Sang Bupati minta diskresi tanpa aturan yang ribet. Sebab, kalau ada rakyat yang sampai mati karena kelaparan, itu akan sangat memalukan dan bupatilah yang bertanggung jawab.
Padahal, itu gara-gara aturan menteri yang silih berganti dan mempersulit.
Kemarahan Sang Bupati terhadap menteri itu pun jadi viral di media sosial sehingga ikut ditanggapi Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mengungkapkan, pemerintah daerah disarankan mengonsultasikan permasalahan penyaluran bantuan kepada pemerintah pusat.
Sehingga berbagai permasalahan bisa segera teratasi dengan cepat.
• BREAKING NEWS: Tujuh Warga Parepare Positif Covid-19 karena Kumpul Makan Kapurung
"Semestinya dia berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Tidak mencurahkan unek-unek lewat media sosial. Sebab, tidak menyelesaikan persoalan. Dia menyebut berbelitnya penyaluran bantuan tidak sepenuhnya kesalahan pemerintah pusat. Pemerintah daerah juga dianggap membuat pendistribusian bantuan tersendat.” (Medcom.id,27 April 2020).
Tontonan di media sosial tentang amburadulnya pelayanan publik oleh pemerintah, juga diekspresikan oleh para Kepala Desa Se-Kabupaten Sikabumi yang menolak bantuan sosial dari gubernur dikarenakan tidak tepat sasaran dan tidak tepat waktu.
Jika kita ingin mencari tahu lebih jauh, ketidakberesan birokrasi pemerintah kita dalam mengurus rakyat yang sedang dilanda wabah korona, pasti akan sangat panjang dan bisa membuat kita kecewa berat hingga prustrasi menyaksikan cara pemerintah kita dalam mengurus rakyat.
Untungnya, rakyat masih bisa bersabar dan mengambil inisiatif untuk mengurus dirinya sendiri.
Di tengah kegagapan dan tidak adanya terobosan kreatif dari pemerintah, komunitas sosial dan kaum terpelajar tidak tinggal diam.
Mereka berkolaborasi antar masyarakat, bertindak menolong rakyat yang membutuhkan, disaksikan tanpa rasa malu oleh pemerintahnya sendiri.
• Badan Intelijen Amerika Serikat Sebut Virus Corona Bukan Buatan Manusia
Kita ambil contoh misalnya, Tim Relawan dan Bantuan Kemanusiaan Mahasiswa Fakultas Teknologi Industri UMI sampai bergerak lintas kabupaten (Gowa dan Bone di Wilayah Provinsi Sulsel) untuk membantu masyarakat di sana, sesuai hasil koordinasi dengan Bupati dan Ketua DPRD setempat.
Mereka membawa bantuan baju hazmad lengkap 50 pcs, Face Shield 50 pcs dan Hand Sanitizer 250 botol. Semuanya dari hasil swadaya mereka.
Belum terdengar apa dan di mana andil pemerintah provinsi yang daerahnya dibantu tersebut.
Seharusnya, pemerintahlah yang lebih banyak membantu, bukannya masyarakat yang lebih aktif membantu pemerintahnya yang selama masih sibuk rapat dan lebih banyak menghimbau daripada bertindak.
Sebagai rakyat, rasanya kita pantas malu menyaksikan pemerintah kita.
Pemerintah Lemah
Wabah Korona telah menguji bangsa ini.
Hasil sementara, menunjukkan bahwa betapa pemerintah kita masih lemah, khususnya dalam menunaikan kewajibannya dalam pelayan publik akibat kebijakan PSBB yang merupakan kebijakan pemerintah sendiri.
Intelektual dan kolomnis Yudi Latif menulis, bahwa: “negara Indonesia memang lemah, tetapi masyarakatnya kuat.”
Tatkala kita diuji dengan pandemi virus korona, ada banyak keluhan atas kegamangan, ketidaksigapan, dan ketidaksinkronan jajaran pemerintahan dalam menangani wabah.
Sementara itu, xolidaritas emosional di tengah masyarakat yang bersifat spontan, membuat bangsa ini sangat kuat, tetapi solidaritas fungsionalnya yang bersifat terstruktur.
Lewat tata kelolah pemerintahan masih sangat lemah.
Ketahanan bangsa yang ajek dan kesejahteraan yang berkesinambungan memerlukan kerangka soliditas yang bersifat fungsional lewat perbaikan tata kelola negara.
Di sinilah sisi kelemahan kita yang menuntut perbaikan.
Pada umumnya, solidaritas emosional dan gagasan inovatif di tingkat masyarakat tak bersambung dengan soliditas fungsional dan kapasitas tata kelola di ranah negara.
Diperlukan kekuatan artikulator dan penekan yang efektif agar gagasan dan aksi konstruktif di tingkat masyarakat diakomodasi dan diaktualisasikan dalam kebijakan dan praktik kenegaraan.
Legitimasi kultural dari masyarakat yang kuat tersebut, mestinya bisa diemban oleh negara dalam menolong rakyatnya.
Sayangnya, negara masih terlalu lemah dalam melakonkannya.
Persoalan lemahnya pemerintah dalam menangani wabah Corona, telah dinyatakan para pengamat asing dia ntaranya Shane Preuss yang menyatakan memang pemerintah terseok kedodoran dalam penangaan wabah meskipun masyarakat sipil bangkit menguatkan dirinya.
Sesungguhnya, pemerintah kita tidaklah lemah. Secara politik justru sangat kuat.
Contohnya, kebijakan terkait covid-19 yang meskipun kontroversi, lancar- lancar saja parlemen.
Senayan manut-manut saja karena mayoritas kekuatannya sudah terafiliasi dengan kekuasaan pemerintahan.
Secara politik kekuasaan pemerintah kita masih kuat. Hanya saja dari segi fungsi pelayanan publik, pemerintah masih sangat lemah.
Sayangnya, sisi kelemahan pemerintah tersebut, justru pada aspek yang seharusnya menjadi kuat pada pemerintah yaitu pelayanan publik yang menjadi keharusan kesejatian sebuah pemerintahan.
Pertanyaanya, kenapa ini terjadi? Boleh jadi, karena kekuasaan belum untuk kepentingan rakyat.
Tapi karena kekuasaan itu masih untuk kekuasaan itu sendiri.
Wallahu A' lam Bishawwabe. (*)