Catatan di Kaki Langit

Kolom Ramadan Qasim Mathar: Virus itu Membongkar Fikih

Editor: AS Kambie
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prof Dr Qasim Mathar, Cendekiawan Muslim

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Menurut sejarah, manusia Jahiliah bertelanjang melakukan tawaf di sekitar Kakbah pada zaman Jahiliah. Perbuatan itu disebut oleh Alquran dengan "fahisyah" (QS. Al A’raf: 28).

Al Qurthubi dalam Tafsir-nya mengatakan: “Fahisyah dalam ayat ini adalah kebiasaan bertawaf dengan bertelanjang pada zaman Jahiliah".

Bermacam-macam kejadian telah dialami Kakbah. Kejadian itu membuat Kakbah (Masjidil Haram) ditutup untuk kegiatan ibadah.

Kejadian yang menyebabkan Masjidil Haram ditutup diantaranya adalah karena kerusakan bangunan, perang, penguasaan Kakbah oleh penyerang, epidemi wabah penyakit, banjir besar, dan lain-lain.

Penutupan itu untuk sebagian areanya, total areanya, atau tertutup untuk negara tertentu. Penutupan itu karena perintah penguasa, atau dipaksa oleh faktor di luar kuasa penguasa.

Meskipun bukan hal yang biasa, ketiadaan kegiatan ibadah (umrah atau haji) di Masjidil Haram sudah terjadi puluhan kali sepanjang sejarah.

Penutupan Masjidil Haram dari kegiatan ibadah umrah baru-baru ini oleh pemerintah Arab Saudi sebagai akibat pandemi Covid-19, hanya pengulangan pengalaman Bait Allah itu sebagai yang pernah dialami dalam sejarah.

Catatan sejarah itu juga dijadikan dasar di dalam fikhi ketika, karena suatu kondisi, ibadah umrah dan haji dilarang serta Masjidil Haram ditutup.

Sebelum pelarangan ibadah umrah dan Masjidil Haram ditutup, di Indonesia kaum Muslimin diimbau untuk tidak melaksanakan Salat Jumat dan salat berjamaah di masjid. Salat Jumat diganti dengan Salat Zuhur dan salat berjamaah di rumah. Rumah ibadah umat beragama lainnya juga dihimbau untuk ditutup. Ibadah dilakukan #dirumahaja... untuk memotong rantai penularan Covid-19 melalui kerumunan jamaah beribadah.

Gempuran wabah Covid-19 berdampak sangat dalam ke sendi-sendi pemikiran keagamaan (fikih) yang sebelumnya tidak terbayangkan oleh banyak penganut agama, khususnya kaum muslimin.

Kebijakan negara tentang protokol Covid-19 yang berkaitan keharusan untuk tetap tinggal di rumah, dan atas dukungan fatwa MUI, salat Jumat dan salat berjamaah di masjid-masjid ditiadakan. Salat Jumat diganti dengan Salat Zuhur dan salat berjamaah dilakukan di rumah, sudah benar.

Saya karena bersama santri melakukan karantina di pesantren sejak 16 Maret 2020, kami tetap melakukan Salat Jumat di masjid pesantren sebanyak dua kali Jumat hingga para santri libur (pulang ke rumah) selepas masa karantina 14 hari, pada 1 April 2020.

Karena saya dan isteri kembali pula ke rumah, kami tetap melakukan Salat Jumat di rumah bersama keluarga, laki dan perempuan (perempuan tidak salat Zuhur lagi) dengan jamaah tidak sampai 10 orang.

Menghadapi bulan Ramadan, NU dan Muhammadiyah, menggedor lagi paham keislaman kaum Muslimin untuk tidak salat tarawih di masjid; dan salat Idulfitri di masjid dan lapangan terbuka.

Tentu saja undangan buka puasa-bersama menjadi hal yang "diharamkan". Covid-19 mendobrak bagian sensitif dari keberagamaan umat beragama. Yaitu: ibadah. Covid-19 memaksa kaum muslimin bersikap inklusif, menerima perubahan-perubahan mendasar tentang cara beragama (beribadah, dll). Dipaksa inklusif karena akhirnya tahu, kalau fikhi dibongkar, bahwa berbagai cara beragama dapat dilakukan dalam kondisi apa pun.

Cara yang bermacam-macam itu dapat dilakukan dalam kondisi normal. Apatah lagi dalam kondisi darurat, seperti Covid-19 sekarang.

Covid-19 membongkar fikih Islam. Dan, mungkin saja akan ada pendapat baru yang akan tertampung di dalam fikih sebagai akibat gempuran Covid-19 ke sel-sel tubuh keberagaman.(*)

== Tulisan Catatan di Kaki Langit yang berisi Kolom Ramadan Qasim Mathar dan Puisi karya Prof Dr Qasim Mathar terbit tiap hari selama Ramadan di Tribun Timur cetak

Berita Terkini