Virus Corona

Dipakai Cegah Virus Corona ( Covid-19 ), ITB dan WHO Jelaskan Bahaya Bilik Disinfektan, Seperti Apa?

Editor: Edi Sumardi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bilik disinfektan atau disinfection chamber di Bandar Udara Internasional Zainuddin Abdul Madjid, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB); dan di Rumah Dinas Wali Kota Surabaya, di Surabaya, Jawa Timur. Dipakai untuk cegah Virus Corona atau Covid-19, ITB dan WHO jelaskan bahaya bilik disinfektan.

TRIBUN-TIMUR.COM - Dipakai untuk cegah Virus Corona atau Covid-19, ITB dan WHO jelaskan bahaya bilik disinfektan, seperti apa?

Penggunaan bilik disinfektan atau disinfection chamber kini sedang marak.

Dipasang di kompleks perumahan, kantor, rumah sakit, hingga di fasilitas umum lainnya demi mencegah infeksi Virus Corona.

Berbagai cara dilakukan untuk mencegah infeksi Virus Corona atau Covid-19, satu di antaranya adalah penyemprotan disinfektan ke tubuh dari dalam bilik.

Di beberapa kota di Indonesia, teknologi hasil komodifikasi itu mulai banyak digunakan.

Di toko online pun mulai ditawarkan seharga lebih dari Rp 1 juta.

Penggunaan bilik disinfektan atau disinfection chamber sempat diuji coba oleh Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, di Rumah Dinas Wali Kota Surabaya, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (21/3/2020).

Bilik disinfektan yang diuji coba Tri Rismaharini merupakan hasil pengembangan dari Institut Teknologi Telkom atau IT Tekom Surabaya.

Tri Rismaharini menilai, penggunaan bilik disinfektan lebih sempurna dibandingkan cuci tangan karena penyemprotan dilakukan di seluruh badan.

Bahkan, Tri Rismaharini turut mempromosikan bilik desinfektan tersebut kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto melalui video call.

Kepada Hasto Kristiyanto, Tri Rismaharini menyampaikan keunggulan dari bilik disinfektan yang dikembangkan IT Tekom Surabaya untuk mencegah penyebaran Covid-19.

"Kalau pakai hand sanitizer hanya membersihkan tangan. Namun, dengan bilik disinfektan ini maka seluruh tubuh dibersihkan sehingga badan benar-benar bersih dari berbagai virus dan kuman," kata Tri Rismaharini.

"Caranya dengan modifikasi shower dalam bak kaca kamar mandi, dan bekerja sama dengan Dinas Kesehatan serta tim teknis, maka blower yang ditambahkan dalam bilik tersebut menyemprotkan disinfektan dengan ukuran tertentu," kata Tri Rismaharini.

"Hasilnya, selain lingkungan diamankan dengan penyemprotan disinfektan, maka tubuh pun akan terlindungi. Kami sedang merancang model yang berbentuk lorong sehingga mampu bekerja cepat dan skalanya lebih besar."

Alhasil, pada Minggu (22/3/2020) lalu, Pemerintah Kota Surabaya, melalui arahan Tri Rismaharini, kemudian memasang 2 bilik disinfektan di Bandara Internasional Juanda.

Bilik desinfeksi juga sudah mulai terpasang di sejumlah tempat, seperti di Istana Negara, Stasiun Bojonegoro, dan Terminal Rajekwesi Bojonegoro.

Penjelasan Sekolah Farmasi ITB soal Bahaya Ditimbulkan

Penggunaan bilik disinfektan mendapat tanggapan dari pihak Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung ( ITB ).

Mengacu pada sejumlah literatur, Sekolah Farmasi ITB tidak menyarankan penyemprotan disinfektan ke tubuh karena memiliki dampak buruk bagi kesehatan.

Selain itu, juga membahayakan pakaian.

Dalam tanggapan yang ditulis sejumlah pengajar Sekolah Farmasi ITB disebutkan bahwa Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization ( WHO ) tidak menyarankan alkohol dan klorin ( bahan disinfektan ) disemprotkan ke tubuh akan membahayakan pakaian dan membran mukosa tubuh seperti mata dan mulut.

Ketua Ikatan Alumni Fakultas Teknik Unhas, A Muhammad Irfan AB, menyerahkan bilik disinfektan kepada RSUD Salewangang, Maros, Sulsel. (HANDOVER)

Juga bisa menyebabkan iritasi.

Penggunaan berlebihan disinfektan berpotensi menimbulkan bahaya bagi kesehatan dan lingkungan.

Salah satunya adalah timbulnya resistensi, baik resistensi bakteri ataupun virus terutama apabila disinfektan tidak digunakan pada konsentrasi idealnya.

Sekolah Farmasi ITB dengan mengacu pada rekomendasi WHO, menyarankan agar memilih solusi aman dalam pencegahan infeksi Covid-19.

Solusi aman tersebut adalah cuci tangan menggunakan sabun, mandi serta mengganti pakaian setelah melakukan aktivitas dari luar atau dari tempat yang terinfeksi tinggi, serta menerapkan physical distancing (minimal 1 meter).

Selengkapnya, berikut salinan penjelasan dari Sekolah Farmasi ITB yang dimuat di laman fa.itb.ac.id.

Tanggapan terhadap maraknya penggunaan disinfektan pada bilik disinfeksi untuk pencegahan COVID-19

oleh: Amirah Adlia, Andhika Bintang Mahardhika, Anita Artarini, Catur Riani, Hubbi Nashrullah Muhammad, Muhamad Insanu, Neng Fisheri Kurniati, Rika Hartati, Yuda Prasetya Nugraha

Sekolah Farmasi ITB (https://fa.itb.ac.id/covid19, farmasi@fa.itb.ac.id, Instagram: farmasiitb)

Akhir-akhir ini, marak digunakan bilik disinfeksi (disinfection chamber) di berbagai titik fasilitas umum, bahkan di titik masuk perumahan, untuk pencegahan penyebaran virus SARS-CoV-2 sebagai penyebab wabah COVID-19.

Penggunaan yang masif ini juga menggugah para peneliti dari berbagai universitas untuk membuat bilik disinfeksi tersebut dengan semangat yang sama, yaitu berkontribusi dalam penanganan wabah yang saat ini harus dihadapi bersama-sama oleh negeri ini.

Upaya pencegahan penyebaran virus dengan cara ini diadopsi di beberapa tempat oleh masyarakat, meskipun dengan menggunakan alat sesederhana botol semprot.

Berbagai macam cairan disinfektan yang digunakan untuk bilik disinfeksi ini diantaranya adalah diluted bleach (larutan pemutih/natrium hipoklorit), klorin dioksida, etanol 70%, kloroksilenol, electrolyzed salt water, amonium kuarterner (seperti benzalkonium klorida), glutaraldehid, hidrogen peroksida (H2O2) dan sebagainya.

Berikut tanggapan kami terkait kondisi tersebut:

1. Disinfeksi didefinisikan sebagai penggunaan bahan-bahan kimia yang dapat membunuh kuman/mikroba (bakteri, fungi, dan virus) yang terdapat di permukaan benda mati (non-biologis, seperti pakaian, lantai, dinding) (Centers for Disease Control and Prevention, CDC) [1].

Efektivitas dari disinfektan dievaluasi berdasarkan waktu kontak atau “wet time”, yakni waktu yang dibutuhkan oleh disinfektan tersebut untuk tetap berada dalam bentuk cair/basah pada permukaan dan memberikan efek “membunuh” kuman. Waktu kontak disinfektan umumnya berada pada rentang 15 detik sampai 10 menit, yakni waktu maksimal yang ditetapkan oleh United States Environmental Protection Agency (EPA) [2].

2. Waktu kontak efektif dan konsentrasi cairan disinfektan yang disemprotkan ke seluruh tubuh dalam bilik disinfeksi untuk membunuh mikroba belum diketahui, apalagi waktu kontak efektif terhadap virus SARS-CoV-2.

Pada konsep bilik desinfeksi, baik waktu kontak maupun konsentrasi efektif akan sulit dipenuhi.

EPA tidak menyarankan penggunaan produk disinfektan yang belum teruji efikasinya jika digunakan dengan metode aplikasi lain seperti fogging, electrostatic sprayer atau penyemprotan.

Hingga saat ini, belum ada data ilmiah yang menunjukkan berapa persen area tubuh yang “terbasahi” cairan disinfektan dalam bilik ini serta seberapa efektif metode ini dalam “membunuh” mikroba.

Ketika disinfektan disemprotkan dalam bilik ini, bisa jadi virus justru menyebar ke area yang tidak terbasahi oleh cairan ini.

Hal ini dapat membahayakan pengguna bilik selanjutnya jika ada virus yang “tersisa” di dalam bilik dan terhirup pengguna tersebut.

3. World Health Organization (WHO) tidak menyarankan penggunaan alkohol dan klorin ke seluruh permukaan tubuh karena akan membahayakan pakaian dan membran mukosa tubuh seperti mata dan mulut [3].

Penelitian yang dipublikasikan pada JAMA Network Open Oktober 2019 menemukan bahwa sebanyak 73.262 perawat wanita yang rutin tiap minggu menggunakan disinfektan untuk membersihkan permukaan alat-alat medis berisiko lebih tinggi mengalami kerusakan paru-paru kronik [4].

4. Inhalasi gas klorin (Cl2) dan klorin dioksida (ClO2) dapat mengakibatkan iritasi parah pada saluran pernafasan (WHO) [5].

5. Penggunaan larutan hipoklorit pada konsentrasi rendah secara terus menerus dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan iritasi kulit dan kerusakan pada kulit.

Dan penggunaannya pada konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan kulit terbakar parah.

Walaupun data masih terbatas, inhalasi hipoklorit (OCl–) dapat menimbulkan efek iritasi ringan pada saluran pernafasan [6].

6. Penggunaan electrolyzed salt water sebagai disinfektan pada bilik disinfeksi, memiliki mekanisme dasar menghasilkan klorin sebagai disinfektan.

Efek samping yang muncul akan sama seperti poin 4 dan 5.

Sejauh ini, potensi penggunaan electrolyzed salt water untuk menginaktivasi virus, yang dipublikasikan pada Journal of Veterinary Medical Science, ditentukan dengan mencampurkan virus dengan air [7], sehingga waktu kontak juga berpengaruh pada efektivitas inaktivasinya.

7. Kloroksilenol (bahan aktif cairan antiseptik komersial) yang juga digunakan sebagai salah satu disinfektan untuk bilik disinfeksi dapat meningkatkan resiko tertelan atau secara tidak sengaja terhirup.

Studi pada hewan menunjukan bahwa kloroksilenol menyebabkan iritasi kulit ringan dan iritasi mata parah.

Kematian terjadi pada dosis tinggi (EPA) [8].

Studi medis yang dilakukan di Hong Kong, dimana melibatkan 177 kasus keracunan cairan antiseptik komersial yang mengandung kloroksilenol, menunjukkan komplikasi serius pada 7% pasien hingga terjadinya kematian [9].

8. Penyemprotan disinfektan ke tubuh manusia, udara, dan jalan raya dipandang tidak efektif.

Selain itu, penggunaan berlebihan disinfektan berpotensi menimbulkan bahaya bagi kesehatan dan lingkungan [10].

Salah satunya adalah timbulnya resistensi, baik resistensi bakteri ataupun virus terutama apabila disinfektan tidak digunakan pada konsentrasi idealnya.

9. Perlu studi lebih lanjut dalam pemilihan disinfektan yang aman dan efektif untuk bilik disinfeksi, mengingat dengan cara ini memungkinkan terjadinya kontak antara cairan disinfektan dengan kulit, mata dan dapat terhirup.

10. Pengawasan pihak terkait dalam suatu aturan/pedoman menjadi sangat penting untuk meminimalisir efek bahaya dari disinfektan terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan.

11. Jika disinfektan semprot memang terbukti aman dan efektif secara ilmiah, edukasi lain yang perlu disampaikan kepada masyarakat adalah bilik disinfeksi ini hanya berfungsi untuk membersihkan permukaan tubuh atau pakaian saja (mengurangi jumlah mikroba) dan tidak menyembuhkan pasien yang telah terjangkit virus corona atau jika virus sudah masuk ke dalam tubuh orang tersebut.

Masyarakat harus tetap berupaya untuk mencegah pemaparan virus SARS-CoV-2 sesuai dengan poin 12.

12. Solusi aman untuk pencegahan pemaparan virus SARS-CoV-2 saat ini sesuai rekomendasi WHO adalah dengan cuci tangan menggunakan sabun (minimal 20 detik), mandi serta mengganti pakaian setelah melakukan aktivitas dari luar atau dari tempat yang terinfeksi tinggi, serta menerapkan physical distancing (minimal 1 meter).

Bandung, 28 Maret 2020

Peringatan Bahaya dari WHO

Dalam keterangan terpisah, WHO melalui akun Instagram @who menyebutkan bahwa penyemprotan disinfektan ke seluruh tubuh seseorang tidak bisa membunuh virus yang terlanjur masuk ke dalam tubuh.

Sebaliknya, penyemprotan tersebut justru bisa merusak pakaian yang dikenakan, bahkan melukai tubuh orang yang menerima tindakan tersebut.

"Menyemprotkan zat-zat semacam itu dapat merusak pakaian atau selaput lendir (seperti mata, mulut)," tulis WHO dalam informasi tersebut.

Penggunaan alkohol dan klorin dalam disinfektan bisa digunakan untuk mensterilkan permukaan suatu benda, namun harus di bawah rekomendasi yang tepat.

Informasi serupa juga diunggah ulang oleh perwakilan WHO di Indonesia dr Paranietharan melalui Twitter di akun @NParanietharan.

Dia menandai akun Kementerian Kesehatan RI, BNPB, Menteri Luar Negeri, Dinas Kesehatan Jakarta, dan lainnya untuk memastikan informasi ini tersampaikan.

"#Indonesia Please do not spray disinfectants on people #COVID19 #CoronaVirusIndonesia, it may be harmful @KemenkesRI @BNPB_Indonesia #JakartaTanggapCorona #Jakarta #LawanCovid19 @kemenkopmk @Menlu_RI @dinkesJKT @WHOIndonesia," demikian isi tweet yang diunggah dr Paranie, Minggu (29/3/2020).

Sementara, melalui laman resmi terkait informasi penanganan Covid-19 milik Pemerintah Indonesia, covid19.go.id, disebutkan cairan disinfektan efektif untuk membersihkan permukaan benda-benda yang potensial terdapat banyak bakteri dan virus.

Namun, cairan disinfektan ini tidak disarankan untuk disemprotkan pada tubuh atau pakaian seseorang.

"Cairan disinfektan bisa membersihkan virus pada permukaan benda-benda dan bukan pada tubuh atau baju dan tidak akan melindungi Anda dari virus jika berkontak erat dengan orang sakit," demikian bunyi keterangan dalam laman resmi tersebut.

Dikutip dari Guidance Notes on Safe Use of Chemical Disinfectants Departemen Tenaga Kerja Hong Kong, cairan disinfekan yang mengandung bahan kimia berupa alkohol memiliki risiko jika disemprotkan ke tubuh.

Alkohol merupakan bahan kimia yang mudah terbakar jika ada di dekat api, terutama ketika diterapkan dengan cara disemprotkan.

Jika mengenai kulit, cairan ini dapat mengiritasi kulit yang terluka.

Sementara jika terhirup maka dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan dan mempengaruhi saraf sistem pusat.

Sementara itu, zat klorin disebutkan sebagai zat beracun. Jika seseorang terpapar klorin dengan konsentrasi tinggi disebutkan bisa berakibat fatal.

Apalagi jika sebuah larutan disinfektan mengandung lebih dari satu jenis zat kimia.

Pencampuran zat-zat tersebut bisa menimbulkan bahaya.(tribun-timur.com/kompas.com)

Berita Terkini