TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Tren penggunan uang koin oleh masyarakat, khususnya di Sulawesi Selatan terus menurun dari tahun ke tahun.
Data Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Sulawesi Selatan mebcatat, sejak lima tahun terakhir, BI telah mengedarkan uang pecahan koin Rp 1.000 ke bawah sebanyak Rp 87,4 miliar.
Namun dalam periode yang sama, uang yang kembali ke BI melalui perbankan dan masyarakat hanya Rp 893,3 juta atau 1,02 persen.
Terkait kondisi ini, Ekonom Enhas Prof Marsuki DEA mengatakan hal tersebut sebagai sesuatu yang normal.
"Saya kira ini suatu hal yang normal, mengingat penggunaan uang koin hanya sebagai pelengkap kesekian jenis sebagai alat bayar yang sudah semakin beragam dan canggih. Sehingga penggunaan uang koin tentunya dari waktu ke waktu semakin kurang," kata Marsuki.
Ia mengatakan, nilai nominal uang koin yang sangat kecil, dibanding nilai barang dan jasa yang ditransaksikan, membiatnya jarang terpakai.
"Juga karena harga-harga barang dan jasa yang dijual belikan relatif besar, sehingga menggunakan uang koin jadi tidak efisien. Jadi uang koin, sekarang betul-betul hanya sebagai alat penukar atau alat bayar recehan-recehan," ucapnya.
"Apalagi, penggunaan alat komplemen pembayaran dengan menggunakan koin tidak tersedia lagi, seperti sebelum ada telepon koin, untuk membayar tiket-tiket tertentu misalnya di tempat-tempat hiburan anak-anak atau lainnya. Jadi memang penggunaan uang koin hanya sebagai alat bayar pelengkap saja," tambahnya.
Dikatakan Marsuki, BI perlu memperhitungkan dengan baik manfaat dan kerugiannya menerbitkan uang koin.
Jika memang dianggap sudah tidak banyak digunakan meskipun itu alat bayar resmi dan dilindungi undang-undang, sebaiknya kata Marsuki, jumlah yang dicetak dan diedarkan dikurangi secara bertahap.
"Karena juga tidak mungkin ditiadakan, karena juga masih diperlukan untuk keperluan sebagai alat pelengkap sistem pembayaran, seperti pencukup uang, kembalian belanja atau lainnya," terangnya.
Saat ini, sejumlah warung kecil juga mulai engganenerima uang koin pecahan Rp 200 dan Rp 100.
"Bagi masyarakat yang tidak mau menerima untuk pembayaran sesuatu sebenarnya memang tidak boleh terjadi, jadi masalah ini hanya persoalan kesepakatan dari masyarakat. Berarti, mereka bisa juga menolak karena alasan tertentu, selama tidak menganggap uang tersebut tidak laku," kata Marsuki menanggapi.
"Jadi memang BI perlu meninjau ulang kebijakan pencetakan dan pengedaran uang koin ke depannya, supaya tidak terjadi pemborosan, dan terutama supaya masyarakat dapat tetap percaya dengan mata uangnya sendiri," pungkasnya. (tribun-timur.com)
Laporan Wartawan tribun-timur.com @Fahrizal_syam
Langganan berita pilihan tribun-timur.com di WhatsApp
Klik > http://bit.ly/whatsapptribuntimur
Follow akun instagram Tribun Timur:
Silakan Subscribe Youtube Tribun Timur: