Oleh: Askar Nur
Mahasiswa Jurusan Bahasa & Sastra Inggris Fakultas Adab & Humaniora UIN Alauddin Makassar - Presiden Mahasiswa DEMA UIN Alauddin Makassar Periode 2018
Sawerigading Datang Dari Laut, sebuah buku yang berisi cerita-cerita berlatar kebudayaan Sulawesi Selatan yang diramu begitu apik oleh sosok penulis terbilang muda, Faisal Oddang. Buku yang menawarkan cerita yang acapkali menghentak sanubari, penuh kisah yang dramatis, cerita sejarah yang jarang menjadi buah bibir kebanyakan.
Oleh Faisal Oddang, fakta sejarah yang dinilai tabu dikemas dengan begitu santai tanpa mengurangi kandungan nilainya. Meskipun buku ini terbilang fiksi, namun gagasan-gagasan yang dihadirkan berdasarkan tilikan sejarah dan ditambahlagi kebanyakan cerita yang dituangkan merupakan cerita yang pernah saya dengar.
Mungkin karena latar ceritanya sesuai dengan latar budaya saya yakni Bugis. Saya masih ingat adagium Bugis yang sering diutarakan oleh orangtua saya, “De nalabu matanna essoe’ ri tengngana bitarae”. Di dalam buku ini, adagium tersebut pun dituliskan dalam terjemahan bahasa Indonesia hingga dijelaskan maknanya secara gamblang.
......Matahari tidak akan tenggelam selain di ujung langit. Begitupula hidup takkan berakhir selain oleh ajal. Aku meyakinkan diri berkali-kali, menatap biasanku di cermin, mencari-cari kalau sampai ada anggota tubuh yang hilang dalam biasan. Semuanya lengkap, dan begitulah orang Bugis meyakinkan diri sebelum berperang. Hal.21
Salah satu adagium dari tanah Bugis yang boleh dibilang sebagai bentuk semangat tidak mudah menyerah terhadap rintangan yang tengah dihadapi dan sebagai ritual menghadapkan diri kepada Sang Pemilik segala-Nya saat hendak bepergian ke sebuah daerah yang tengah dilanda peperangan.
Dewasa ini, ritual-ritual seperti itu sangat jarang digunakan oleh para generasi muda. Di lain sisi, hal demikian dipengaruhi perkembangan zaman dan berubahnya cara pandang seseorang terhadap sesuatu yang dinilai sudah tidak relevan dengan konteks kekinian.
Juga beberapa ahli agama garis-keras secara terang-terangan berpandangan bahwa ritual seperti itu adalah bagian dari menyekutukan sebuah agama apalagi hal demikian turut dibenarkan oleh beberapa kalangan intelektual muda.
Ritual tersebut sama sekali bukanlah wujud menduakan agama karena pada dasarnya orang yang melakukannya adalah orang yang tetap menyandarkan diri kepada Sang Maha Kuasa. Kebanyakan masyarakat yang bermukim di daerah-daerah terpencil di Sulawesi Selatan masih tetap menjaga dan melestarikan warisan budaya lokal termasuk di tanah kelahiran saya, Bone. Sebuah kabupaten yang letaknya jauh dari Makassar sebagai pusat Provinsi Sulawesi Selatan.
Beruntunglah, Faisal Oddang membantu saya untuk mengetahui kilas-balik budaya Bugis melalui bukunya, meskipun tidak semua dalam bukunya ini membahas tentang kehidupan Bugis. Budaya Tanah Toraja hingga komunitas Bissu juga dipaparkan sehingga akan sangat membantu untuk melakukan penelusuran budaya selanjutnya.
Sebuah ingatan spontan terngiang dalam benak saya, ungkapan yang pernah diutarakan oleh Etta’ (Bapak) saya. Budaya korupsi tidak akan terjadi jika seandainya kita semua menginternalisasi ajaran kebudayaan dalam diri kita.
Misalnya dalam kebudayaan Bugis, peribahasa “Aja mupoloi olona tau laingnge” yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia berarti ‘jangan mengambil hak orang lain’.
Sayangnya, beberapa dari kita terlampau meninggalkan pembelajaran dari segi budaya jauh ke belakang atau bahkan melupakannya. Kita terlalu cepat termakan bujuk-rayuan kehidupan modern yang serba mudah dan mewah hingga kata ‘pamali’ (pantangan) adalah dongeng masa lalu yang tidak sesuai dengan konteks kehidupan saat ini umumnya masyarakat Sulawesi Selatan dan khususnya budaya Bugis itu sendiri.
“lari!” kuseru kau dan Puang Matua Rakka. Kalian berdua hanya bergeming. Aku mengingat dua bulan sebelumnya, saat Daeng Aso, guru sekolah di kampung sebelah, dicegat oleh beberapa orang; perusuh kau, orang-merah, asu! Aku mendengar jelas umpatan itu. Orang-merah, orang-merah __ begitu menyebut komunis.
Tidak ada yang berani menolong ketika ia diseret dan dilempar ke mobil bak terbuka, istrinya menangis sejadi-jadinya. Malam hari setelah kejadian itu, rumahnya dibakar entah oleh siapa. Hal. 42
Sebuah latar cerita yang tidak jauh dari peristiwa 1965 tergambar dalam dialog tersebut. Yang terlintas dalam pikiran saat setelah membaca kutipan dialog di atas adalah begitu besarkah kesalahan yang pernah dibuat para komunis di masa lalu sehingga orang-orang yang dituduh berafiliasi dengannya akan diperlakukan secara tidak manusiawi?
Maka sebuah kewajaran jika pertanyaan seperti itu terlintas di pikiran orang seperti saya yang tidak tahu-menahu dan tidak pernah membaca literatur asli terkait sejarah komunis di masa lalu. Meskipun banyak literatur yang menjelaskan tentang komunis namun beberapa di antaranya masih patut dipertanyakan kebenaran fakta yang dikandung.
Hal yang cukup memilukan sampai saat ini adalah beberapa kelompok masyarakat anti terhadap hal-hal yang berbau komunis atau Marxis atau bahkan bertindak di luar batas. Pertanyaannya kemudian apakah kelompok masyarakat seperti itu pernah mengkaji secara mendalam terkait apa yang dibencinya atau setidaknya membaca literatur-literatur terkait?
Atau hanya mendapat informasi dari mulut ke mulut tanpa memfilter atau membuktikan kebenarannya? Tapi semoga saja mereka yang seperti itu telah menemukan fakta sejarah yang objektif sebelum menghidupkan kebencian dalam dirinya terhadap sebuah paham tapi akan sangat fatal jika mereka hanya sekedar membenci namun belum memahami apa yang sebenarnya yang mereka benci itu.
Sejatinya, corak ilmu pengetahuan yang terlegitimasi adalah yang berasal dari tarikan sejarah. Di luar daripada itu maka penciptaan sebuah pandangan akan menjadi ahistoris. Sebuah pandangan yang ahistoris akan melahirkan benih kecintaan yang palsu termasuk jiwa nasionalisme yang tidak terkonstruksi dengan pemahaman sejarah atas sebuah bangsa maka yang akan tercipta adalah cinta yang tidak menghidupkan proses kehidupan. (*)