Oleh: Yarifai Mappeaty
Alumni Universitas Hasanuddin
Kata orang, Agus Arifin Nu’mang menghadap Pak Jusuf Kalla (JK), biasa. Nurdin Halid menemui Pak JK, wajar. Syahrul Yasin Limpo mengunjungi Pak JK, lumrah. Mereka dan tokoh-tokoh Sulsel lainnya yang telah menganggap Pak JK sebagai orangtua yang dituakan, bertemu dengannya sudah bukan hal luar biasa.
Bahkan sekalipun pertemuan itu berlangsung pada saat ada momentum politik pada tingkat lokal Sulsel. Tak perlu heran. Sebab pada dasarnya, Pak JK memang senang menyambung tali silaturrahim. Setiap lebaran puasa, beliau tak pernah alfa menyelenggarakan open house di kediamannya di Jalan Haji Bau, Makassar.
Di sana, ribuan orang datang dengan motif dan tujuan yang berbeda. Mulai dari kalangan elite hingga jelata. Kalangan elite itu, pada umumnya pejabat dan tokoh-tokoh politik nasional dan lokal. Terselip pula elite aktifis dan orang-orang avonturir. Mereka semua rela antre untuk sekadar jabat tangan dan cipika-cipiki dengan Pak JK.
Tentu saja tak ketinggalan foto selfie bareng beliau. Motifnya apa? Banyak. Ada sekadar untuk diperlihatkan pada orang lain sebagai suatu kebanggaan. Ada pula yang menjadikannya sebagai ‘jimat’ bukti kedekatan untuk tujuan tertentu.
Lantas, kaum jelata bagaimana? Ah, mereka tak perlu antre, tapi cukup mau berdesak-desakan di sepanjang Jalan Haji Bau, yang jauh-jauh hari sebelumnya sudah ditutup, dipersiapkan khusus untuk acara itu. Mereka juga tak membutuhkan berjabat tangan, cipika-cipiki, apalagi foto selfie dengan Pak JK. Mereka hanya membutuhkan tenaga ekstra untuk berdesak-desakan memperebutkan kedermawanan beliau. Tak mengapa kalau harus mengalami jatuh terinjak dan pingsan.
Semenjak menduduki jabatan wapres pada 2004, Pak JK menjelma menjadi sosok sentral bagi masyarakat Sulsel. Bayangkan, setiap hajatan politik lokal Sulsel, tunggu saja di Pak JK. Mereka yang berkepentingan akan datang mappatabe’. Basa-basinya, mohon doa restu. Mereka percaya, dukungan moril dan restu dari orangtua itu dapat dikapitalisasi menjadi bernilai elektoral.
Secara informal, Pak JK seolah telah menjadi ‘wali wanua’ bagi Sulawesi Selatan. Semua hal yang menyangkut Sulsel, seolah tidak afdal jika tidak diperhadapkan kepadanya. Begitu berpengaruhnya sosok ini, sehingga dipercaya tidak ada urusan yang jadi tanpa melaluinya.
Pokoknya, sedikit-sedikit Pak JK. Sampai-sampai orang-orang asal Sulsel yang berhasil muncul di pentas nasional, dipercaya sebagai buah tangan beliau. Sedangkan yang mengalami kegagalan, secara serta merta dicap oleh publik sebagai kualat, kacalla terhadap Pak JK.
Pengaruhnya, sowan kepada Pak JK pun menjelma menjadi suatu kebutuhan bagi sebagian orang.
Secara semiotik, tak sedikit hal menjadi penanda bagi penegasan betapa sentralnya sosok Pak JK. Antara lain, setidaknya, dua atau tiga tahun lalu, sudah terlontar ke ruang publik, “Who the next JK.” Tak pelak, lontaran itu pun menjadi ramai dipercakapkan.
Tak ayal, nama Nurdin Halid, Syahrul Yasin Limpo, dan Erwin Aksa disebut-sebut. Mengapa Nurdin Halid? Sepanjang 2015 hingga 2016, namanya benar-benar berkibar selaku tokoh kunci dalam penyelesaian kemelut yang menimpa Partai Golkar.
Syahrul? Kala itu ia masih menjabat Gubernur Sulsel dan diprediksi akan berkiprah di pentas nasional. Hari ini, faktanya, Syahrul benar.
Mengapa pula Erwin Aksa? Sebab ia seorang tokoh muda yang sudah lama berkiprah di level nasional. Sebagai putra mahkota dari kerajaan bisnis kelompok Bosowa, Erwin dinilai memiliki potensi itu.
Terlebih, ia adalah kerabat dekat Pak JK. Tentu Erwin telah banyak belajar kepadanya. Tetapi ada yang berpendapat bahwa posisi informal Pak JK itu adalah ‘kutukan’, bukan dipelajari untuk memperolehnya.
Ada juga yang menyebut Andi Amran Sulaiman (AAS), the rising star dari Sulsel. Sebagai Menteri Pertanian periode 2014-2019, ia pun dinilai memiliki potensi. Melihat sepak terjangnya di Pilkada Sulsel 2018 lalu, tak sedikit yang berpendapat kalau itu adalah bagian dari skenario Amran untuk menancapkan pengaruhnya di Sulawesi Selatan.
Apakah itu penanda bahwa AAS ‘berambisi’ merebut who the next JK? Bisa iya bisa tidak.
Tetapi, kalau iya, mengapa tidak? Itu sah-sah saja. Lagi pula, disadari atau tidak, untuk menjaga stabilitas dan harmoni di Sulsel, memang senantiasa diperlukan ada sosok yang dituakan.
Selama ini, sosok yang dituakan itu berhasil dengan baik diperankan oleh Pak JK. Harus pula diakui bahwa bagaimanapun gentingnya situasi politik di Sulsel dalam dua dekade terakhir, realitasnya, semua dapat terkendali, antara lain, berkat adanya sosok yang dituakan itu.
Yang menarik dari sosok Amran adalah, ia tak menjadikan Pak JK sebagai patron. Maka wajar saja jika kemudian tak pernah diberitakan sowan kepada Pak JK. Selama lima tahun berada di kabinet Jokowi – JK, Amran justeru diidentifikasi sebagai antitesa Pak JK.
Lantas, apa kira-kira respon publik Makassar, kalau tiba-tiba muncul berita bahwa AAS bertemu Pak JK? Benar saja, Amran telah bertemu Pak JK di Al Markaz Al Islami Makassar pada 26 Oktober 2019, jelang magrib.
Pertemuan itu kemudian memantik diskusi pada keesokan harinya. Banyak yang menyayangkan, mengapa silaturrahim semacam itu baru terjadi setelah keduanya menjadi mantan. Ah, tidak apa. Sebut saja, silaturrahim dua mantan. Selain itu, tak perlu pula kepo mempertanyakan agenda yang dibicarakan.
Menurutku, tidak penting. Penulis malah memuji sikap Amran yang mau berendah hati menemui Pak JK pada saat beliau menjadi mantan.
Amran memang juga mantan, tetapi ia relatif masih muda, 51 tahun. Artinya, ia masih memiliki prospek dan kesempatan untuk kembali berkiprah di kancah elite nasional dalam sepuluh atau lima belas tahun ke depan.
Amran memang mungkin tak pernah menemui Pak JK secara pribadi pada saat beliau masih berkuasa. Tetapi apa yang dilakukan Amran di Al Markaz itu adalah contoh yang baik. Amran telah menunjukkan bagaimana selayaknya nilai sipakatau dan sipakalebbi itu diamalkan secara tulus terhadap seseorang yang tak lagi punya sesuatu untuk dimanfaatkan. (ym)